IHRAM.CO.ID, JAKARTA— Di antara persoalan umat Islam di Barat adalah kemampuan beradaptasi dan berintegrasi sosial. Benarkah memang faktanya, secara keseluruhan, Muslim yang tinggal di negara-negara Eropa kesulitan beradaptasi dan berintegrasi sosial?
Jawaban atas pertanyaan ini disampaikan Kolumnis di Middle East Monitor, Dr Essam Youssef, menulis artikel tentang pandangannya soal Muslim Eropa dan bagaimana Prancis memperlakukan mereka, yang dialihbahasakan Ihram.co.id.
Generasi Muslim telah lahir dan dibesarkan di Eropa dan bukan "imigran". Mereka dan mereka yang telah masuk Islam memiliki akar yang dalam di benua itu dengan banyak posisi berpengaruh. Dari menteri dan wali kota hingga ilmuwan, dokter, pengusaha, bintang olahraga, dan artis, Muslim Eropa dapat ditemukan di mana-mana.
Selama berabad-abad, Eropa dan budaya Islam telah berinteraksi secara luas. Pengaruh dua arah melalui perjalanan, perdagangan, dan, tentu saja, Perang Salib. Sering dikatakan para sarjana bahwa pengetahuan kuno dilestarikan dan dibangun di atas Muslim Spanyol selama 800 tahun, ketika Eropa berada dalam apa yang disebut "Abad Kegelapan" yang kemudian memicu Renaisans Eropa.
Berlawanan dengan wacana populis, umat Islam pada umumnya tidak memiliki masalah dalam berintegrasi ke dalam komunitas lokalnya. Menurut sebuah studi yang dilakukan German Bertelsmann Stiftung Foundation pada 2017, umat Islam telah berhasil berintegrasi di Jerman, Inggris, Swiss, Prancis, dan Austria, terlepas dari kendala yang mereka hadapi dalam pendidikan dan pekerjaan.
Studi ini mengambil sampel perwakilan lebih dari 1.100 Muslim di Jerman dan 500 dari masing-masing negara lain yang terlibat. "Integrasi imigran Muslim di Eropa Barat membuat kemajuan yang jelas. Paling lambat generasi kedua, mayoritas telah memasuki masyarakat arus utama," kata laporan itu.
Studi tersebut juga mencatat bahwa "Integrasi yang berhasil lebih penting karena tidak satu pun dari lima negara ini menawarkan kesempatan yang baik secara konsisten untuk berpartisipasi, dan Muslim menghadapi penolakan terbuka dari sekitar seperlima populasi."
Dalam konteks ini, pakar kohesi sosial Stephan Vopel mengatakan bahwa "Islam bukanlah halangan bagi integrasi. Muslim, bahkan yang sangat religius, mempelajari bahasa baru dan berjuang untuk tingkat pendidikan yang lebih tinggi seperti halnya para imigran lainnya." Studi tersebut menunjukkan bahwa mayoritas peserta, 94 persen, merasa terhubung dengan negara tempat mereka tinggal, terlepas dari ekspresi penolakan yang dihadapi para imigran.