Kamis 03 Dec 2020 13:02 WIB

Perjalanan Cucu Nelson Mandela Jadi Mualaf

Setelah menjadi seorang Muslim ia kerap memperjuangkan kebebasan Palestina.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Elba Damhuri
Mandla Mandela, cucu tokoh revolusioner Afrika Selatan Nelson Mandela. Dia memeluk Islam pada 2015.
Foto:

Pada 2015, Mandla memutuskan masuk Islam. Lalu, pada awal 2016 menikah dengan perempuan yang juga beragama Islam bernama Rabia Clarke. Dia merasa terhormat dan senang bisa mengumumkan pernikahannya yang berlangsung di Cape Town pada 6 Februari 2016 itu.

Sebelum itu, Mandla telah menikah tiga kali. Pada 2004, dia menikah dengan Tando Mabuna-Mandela. Kemudian pada 2010, ia menikah dengan Anais Grimaud yang berusia 20 tahun. Namun pernikahan ini berujung cerai setelah terjadi skandal perselingkuhan yang dilakukan Grimaud dengan saudara laki-laki Mandla.

Pada Desember 2011, Mandla menikah dengan putri Swazi Nodiyala Mbali Makhathini, tetapi pernikahan itu juga berakhir cerai pada 2014. Barulah pada awal 2016, publik Afrika Selatan dibuat terkejut oleh pernikahan Mandla dengan perempuan Muslim Capetonian. Pernikahan keempat Mandla ini berlangsung di usianya yang ke-42 setelah beberapa bulan menjadi mualaf.

"Saya ingin menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua Rabia, keluarga besarnya, dan komunitas Muslim, yang telah menyambut saya di hati mereka. Meskipun Rabia dan saya dibesarkan dalam tradisi budaya dan agama yang berbeda, kebersamaan kami mencerminkan kesamaan kami, kami adalah orang Afrika Selatan," kata Mandla.

Namun, Islamnya Mandla kemudian memicu protes dari Kongres Pemimpin Tradisional Afrika Selatan (Contralesa) yang tidak senang dengan hal itu. Contralesa meminta Mandla untuk mundur dari jabatannya sebagai kepala suku Xhosa karena telah memeluk keyakinan baru. Mandla disebut tidak bisa memimpin sukunya dengan agama baru yang baru saja dipilih.

Nonkonyane mengatakan agama yang baru dipeluk Mandla bisa menimbulkan konflik bagi rakyatnya.

"Tidak ada yang salah dengan seorang pemimpin tradisional mengikuti keyakinan yang dia pilih, tetapi kami prihatin apakah dia akan dapat terus menjalankan tanggung jawabnya sebagai kepala suku," kata Nonkonyane.

Tugas kepala adat salah satunya adalah memimpin ritual ucapan syukur untuk leluhur, termasuk mempersembahkan hewan yang disembelih kepada mereka dalam doa. Praktik semacam itu dianggap tidak sejalan dengan kepercayaan banyak Muslim.

Nonkonyane menyebut apa yang dilakukan Mandla bertentangan dengan tradisi bahwa pria mengambil alih budaya istrinya. "Menurut tradisi Afrika, perempuanlah yang harus menjadi bagian dari keluarga yang akan dinikahinya (pihak pria). Ketika dia menerima lamaran Mandla, harapannya adalah agar dia mengadopsi cara-cara rakyatnya," katanya.

Terlepas dari seluruh polemik itu, Mandla kini seorang Muslim yang berjuang melawan ketidakadilan dan penindasan di belahan dunia lain. Tak heran, Mandla aktif menyuarakan dukungan untuk Palestina dan mengecam Israel karena telah berperilaku rasialis

Mandla menilai, apa yang dialami rakyat Palestina selama berpuluh-puluh tahun merupakan contoh pelembagaan rasialisme. Selain rasialisme, juga terjadi pengendalian sistematis terhadap kehidupan Palestina, pencurian tanaman, pembatasan kehidupan pertanian, dan pencaplokan tanah secara ilegal. Karena itu, Mandla tidak henti-hentinya mengampanyekan boikot, divestasi dan sanksi (BDS) untuk Israel.

Mandla melihat ada dukungan masyarakat sipil yang besar untuk Palestina. Pesan yang selalu dia kampanyekan adalah "Apartheid adalah kejahatan terhadap kemanusiaan". Menurutnya, diperlukan langkah yang lebih efektif untuk memboikot perusahaan yang mengizinkan, berkolaborasi dan mendapatkan keuntungan dari apartheid.

Namun, dia juga mengingatkan, mereka yang tertindas tidak akan bisa lepas dari jeratan penindasan jika tidak bersatu. Persatuan bangsa-bangsa yang tertindas itu dimulai dengan adanya persatuan bangsa-bangsa Palestina sendiri

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement