IHRAM.CO.ID, JAKARTA – Islam tak menganjurkan menggugurkan kandungan. Namun, bagaimana seseorang yang ingin menggugurkan kandungan lantaran akibat kasus pemerkosaan?
Dijelaskan dalam buku Fiqh Perempuan oleh K.H. Husein Muhammad, kesepakatan ulama fiqih, pengguguran kandungan di atas usia empat bulan atau 120 hari adalah diharamkan. Sebab, pada usia tersebut, janin telah menjadi makhluk hidup. Sedangkan membunuh manusia dalam kondisi apapun hukumnya haram, meskipun kondisi tersebut membahayakan sang ibu.
Mereka berpijak dalam firman Allah surat Al-Isra’ ayat 33 :
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّۗ
Wa lā taqtulun-nafsallatī ḥarramallāhu illā bil-ḥaqq. “…Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya, kecuali dengan kebenaran (haq)…”
Sementara itu, pengguguran di bawah usia empat bulan menjadi perdebatan para ahli fiqh. Al-Ghazali dari mahzab Syafi’I melarang pengguguran dalam semua tahap pertumbuhan janin. Selain Al-Ghazali, Ar-Ramli menganggap pengguguran boleh dilakukan dengan tingkatan yang berbeda, tergantung jauh dekatnya usia janin. Pendapat mahzab lain pun beragam. Mengenai pengguguran yang diakibatkan oleh hamil zina, sejumlah ulama mazhab Syafi’I membolehkan.
Namun, terkait kehamilan akibat perkosaan, baik secara individual maupun massal seperti yang terjadi pada tragedi Mei 1998 di Indonesia atau tragedi lain yang sejenis memang luar biasa. Timbul pemikiran baru dari kalangan ahli fiqh kontemporer dalam memandang kenyataan tersebut.
Majalah Al-Buhuts Al-Fiqhiyah Al-Mu’ashirah (Kajian Fiqh Kontemporer), terbitan Riyadh, Arab Saudi nomor XV11 tahun ke V dalam bentuk rubrik Masail fi Al-Fiqh memberi jalan tengah dalam persoalan ini. “Jika perempuan itu sebelum berakhirnya usia janin 120 hari dapat meyakini bahwa kandungannya akibat pemerkosaan (berdasarkan keterangan dokter), maka pengguguran setelah 120 hari adalah boleh,” tulis dalam majalah itu dalam halaman 204.
Sedangkan pada halaman selanjutnya dikatakan, “Apabila dia tidak merasa yakin mengenai keadaannya sesudah terjadinya perkosaan itu karena beberapa sebab yang dibenarkan agama (al-a’dzar al-syar’iyyah) dan usia jani sudah melebihi 120 hari, maka kaidah agama memberikan peluang bagi pengguguran tersebut seperti dalam keadaan darurat, tetapi dia harus membayar kifarat (tebusan).”
Menurut majalah itu, perempuan yang diperkosa pada umumnya mengalami penderitaan kejiwaan yang bisa meninggalkan penderitaan fisik dan mental, bahkan dapat menghancurkan hidupnya. Maka, pengguguran kandungan dalam hal ini dipandang lebih ringan daripada kematian. Namun, di sisi lain, jika perempuan yang diperkosa menerima nasibnya dan hal itu tidak menimbulkan akibat buruk baginya, maka dia wajib tidak melakukan pengguguran. Dia wajib mendidiknya agar menjadi anak yang shaleh.
Berdasarkan keterangan tersebut, pengguguran dalam kasus perkosaan dibenerkan hanya ketika dalam kondisi dilematis. K.H. Husein Muhammad menjelaskan dalam bahasa fiqh disebut al-akhdz bi akhaff al-dhararayn yang berarti mengambil pilihan buruk daripada yang lebih buruk. Kaidah fiqh menyebutkan idza ta’aradha al-mafsadatan ru’iya a’zhamuhuma dhararan atau jika berhadapan dua bahaya (keburukan), maka yang harus dijaga (dilindungi) adalah yang paling buruk.