IHRAM.CO.ID, ANKARA -- Turki tidak akan membatalkan pembelian sistem pertahanan anti rudal S-400 buatan Rusia. Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengatakan akan melakukan pembalasan setelah mengevaluasi sanksi Amerika Serikat terkait transaksi tersebut, pada Kamis (17/12).
Amerika Serikat pada Senin (14/12) menjatuhkan sanksi terhadap Direktorat Industri Pertahanan Turki (SSB), Direktur SSB Ismail Demir, dan tiga pegawai SSB, terkait pembelian S-400. Turki menyebut sanksi itu sebagai "kesalahan besar".
Presiden Turki Reccep Tayyip Erdogan pada Rabu (16/12) mengatakan sanksi itu merupakan "serangan" terhadap industri pertahanan Turki. Menurut Erdogan, sanksi itu ditakdirkan untuk gagal menghambat kemajuan Turki.
Cavusoglu, saat diwawancarai oleh Kanal 24, mengatakan Turki tidak akan tunduk terhadap sanksi CAATSA karena pembelian alat pertahanan itu dilakukan sesuai dengan aturan undang-undang.
Menlu Turki menambahkan kebijakan AS merupakan serangan terhadap kedaulatan Turki dan tidak akan berpengaruh terhadap Ankara. CAATSA atau Undang-Undang Melawan Musuh Amerika Serikat melalui Sanksi merupakan produk hukum yang ditetapkan oleh Kongres AS dan berlaku sejak 2017.
CAATSA juga diberlakukan demi mencegah negara-negara membeli alat pertahanan dan senjata dari Rusia dan lawan-lawan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) lainnya.
"(Sanksi) ini tidak sejalan dengan hukum internasional, aturan diplomasi, dan keputusan itu keliru secara politis dan hukum," kata Cavusoglu.
Ia menambahkan bahwa AS seharusnya menyelesaikan masalah itu dengan aturan dan norma umum yang berlaku, mengingat AS menjalin kerja sama dengan Turki dan keduanya terhubung dalam NATO.
"Jika ada kemunduran, maka itu akan terjadi sekarang," kata Cavusoglu, merujuk pada keputusan pembelian S-400.
"Tidak penting sanksi itu berat atau ringan, pemberian sanksi itu sendiri sudah salah," kata dia.
Turki mengatakan pembelian S-400 bukan pilihan, melainkan kebutuhan karena negaranya tidak dapat memproduksi alat sistem pertahanannya sendiri.
Menurut Turki, negara-negara anggota NATO juga tidak dapat memproduksi alat pertahanan yang dikehendaki Ankara. AS mengatakan S-400 mengancam jet tempur F-35 miliknya dan sistem pertahanan NATO secara keseluruhan. Turki menepis anggapan itu dan mengatakan S-400 tidak akan disatukan dalam sistem pertahanan NATO.
Sanksi itu dijatuhkan di tengah renggangnya hubungan Ankara dan Washington, juga saat masa pergantian kepemimpinan dari Presiden AS Donald Trump ke presiden terpilih Joe Biden.
Saat ditanya apakah hubungan dua negara akan membaik di bawah kepemimpinan Biden, Cavusoglu mengatakan jawabannya tergantung pada kebijakan AS terkait Suriah dan ekstradisi Fethullah Gulen, ulama terkenal di Turki yang dituduh sebagai dalang percobaan kudeta pada 2016.
"Jika AS berpikir secara strategis, mereka sangat membutuhkan Turki. Mereka mengatakan ini, tetapi mereka harus melakukan apa yang dibutuhkan karena alasan ini," kata Menlu Turki Cavusoglu.