IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Vaksin Covid-19 yang telah disetujui saat ini disambut dengan tanggapan yang beragam dari komunitas teologi Islam, asosiasi halal dan para pakar farmasi halal. Berbagai pihak, termasuk di negara-negara mayoritas Muslim, mempertanyakan tentang kehalalan vaksin tersebut, terlepas dari persetujuan pemerintah.
Di Inggris, misalnya, vaksin Pfizer-BioNTech, yang diberikan kepada publik, telah disetujui oleh British Islamic Medical Association (BIMA) dan cendekiawan Islam lainnya. Mereka menyatakan bahwa vaksin itu halal berdasarkan informasi yang tersedia. Menurut pemerintah Inggris, vaksin tersebut tidak mengandung komponen asal hewan, yang menjadi perhatian umat Islam seperti babi yang haram (tidak diperbolehkan) dalam Islam.
Satu-satunya bahan yang meragukan dalam vaksin ini adalah kolesterol, karena dapat berasal dari lemak hewani. Akan tetapi, perusahaan farmasi itu mengatakan bahwa zat itu berasal dari sumber yang diturunkan dari tumbuhan atau sintetis.
Sementara itu, Standards and Metrology Institute for Islamic Countries (SMIIC) dari Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang membentuk panitia teknis obat-obatan halal (TC 16) pada 2019, belum secara resmi menyatakan bahwa vaksin tersebut halal atau tidak halal.
Sekretaris Jenderal SMIIC, Ihsan Ovut, dalam pesan email ke Salaam Gateway, mengatakan tidak ada standar khusus yang dikembangkan mengenai kehalalan vaksin Covid-19. Akan tetapi, proyek TC 16 yang sedang berlanjut, Persyaratan Umum Obat-obatan Halal OKI/SMIIC WD 50 akan menentukan persyaratan dasar dalam pembuatan dan penangananan obat-obatan halal yang meliputi obat-obatan, vaksin, dan produk biologi, berdasarkan aturan Islam.
Karena itu, isu utamanya ialah apakah vaksin utama Covid-19 yang sejauh ini berhasil dikembangkan oleh Pfizer-BioNTech, Moderna, Sinopharm dan Sinovac, dapat diklaim halal jika tidak bersertifikat halal. Seorang ahli farmasi halal mengatakan tidak.
"Mereka tidak bisa mengklaim produk itu halal. Pernyataan mandiri tidak dapat diterima kecuali pihak ketiga melakukan proses sertifikasi. Jika Pfizer atau perusahaan lain mengklaim bahwa vaksin tersebut bebas dari bahan hewani, vaksin tersebut tetap tidak boleh diterima kecuali bersertifikat halal," kata Dr. Mohammed Ali Al Sheikh, yang bekerja di SMIIC, dilansir di Salaam Gateway, Senin (21/12).
Al Sheikh mengatakan, hanya ada sedikit apoteker berkualifikasi dengan latar belakang pengetahuan yang luas dalam sertifikasi halal yang mampu mensertifikasi vaksin semacam itu. Ia menjelaskan, bahwa produk biologi (termasuk vaksin) adalah produk bioteknologi.
Bioteknologi adalah bidang yang luas, yang melibatkan penggunaan sistem kehidupan dan organisme untuk mengembangkan atau membuat produk, seperti enzim, messenger RNA (mRNA), dan molekul besar, untuk menumbuhkan bakteri atau kultur sel, yang mungkin mengandung bahan yang meragukan termasuk di dalam proses produksi. Hal ini juga berlaku untuk teknik biologi sintetis baru.
Media kultur mungkin berisi bahan najis (najis menurut aturan Islam) seperti darah atau bahan non-halal seperti sel babi. Bahkan enzim dan beberapa alat bantu pemrosesan lainnya mungkin berasal dari sumber non-halal. Media kultur untuk pembuatan vaksin juga dapat bersumber dari limbah, seperti darah hewan.
"Ini harus sesuai dengan standar halal, bebas dari bahan non halal atau najis," kata Al Sheikh.
Namun demikian, untuk vaksin Covid-19, ia mengaku belum mengetahui bahan lengkapnya dalam proses produksinya. Pfizer mengklaim tidak ada bahan hewani dalam vaksin, yang benar menurut bahan produk akhir, akan tetapi selama proses (pengembangan awal) mereka tidak tahu.
"Bisa jadi mereka menggunakan sejenis enzim yang tidak halal. Anda tidak bisa 100 persen yakin sampai setiap komponen dan material diperiksa, satu per satu," lanjutnya.
Ia menambahkan, sulit untuk membuat vaksin halal karena media kultur atau enzim perlu diubah. Jika dilakukan dari awal, dengan tujuan sertifikasi halal, hal itu menurutnya akan lebih mudah berkembang.
Pendapat Al Sheikh itu didukung oleh pemberi sertifikat halal World Halal Authority (WHA). CEO WHA, Dr Mohamed Elkafrawy, mengatakan bahwa dari perspektif halal, mereka sangat yakin jika prosedur sertifikasi halal yang menyeluruh harus diadopsi oleh inovator vaksin Covid-19 saat ini dan di masa depan, guna memenuhi harapan dan preferensi umat Islam secara luas.
Tidak jelas apakah vaksin yang dikembangkan oleh Moderna dan China National Pharmaceutical Group (Sinopharm) mengandung komponen haram. Namun Bahrain, UEA, dan Pakistan telah menyetujui vaksin Sinopharm. Sementara pemerintah Singapura telah mengizinkan vaksin Pfizer-BioNTech untuk digunakan di negara tersebut.
Kantor Mufti Islamic Religious Council of Singapore (MUIS) di situsnya menyatakan, bahwa vaksin Covid-19 adalah kebutuhan dasar (daruriyyat), karena merupakan inokulasi (suntikan) penyelamat jiwa.
"Karenanya pandangan religius dari vaksin Covid-19 harus mengambil sikap yang lebih holistik yang melampaui masalah kehalalan atau diperbolehkannya bahan-bahannya," kata MUIS.
Dalam hal ini, izin kalangan agama dan pemerintah yang diberikan untuk vaksin Covid-19 diharapkan dapat mengatasi kekhawatiran Muslim tentang apakah vaksin itu halal atau tidak. Namun, tetap menjadi tantangan untuk meyakinkan orang-orang agar menerima vaksin. Sebab, fenomena anti-vaksinasi masih berkembang di banyak negara.
Di lain hal, MYEG Malaysia telah menandatangani kesepakatan dengan Anhui Zhifei Longcom Biopharmaceutival China untuk melakukan uji klinis Tahap 3 di Malaysia dan untuk mendapatkan sertifikasi halal, berdasarkan standar DSM Malaysia. Sedangkan PT Bio Farma milik Indonesia, yang bekerja dengan Sinovac Biotech Ltd dari China, mengatakan kepada Salaam Gateway bahwa mereka sedang mengupayakan sertifikasi halal untuk vaksin Covid-19.