‘’Sudahlah kita pergi ke ‘Masjid Merah’ itu yuk.. Mumpung hari belum terlalu siang.’’ Katanya.
Aku menangguk dan kemudian berjalan pergi meninggalkan rombongan orang lokal yang mengajaku basa-basi berbincang sejenak.
Setelah sampai di luar hotel matahari memang mulai meninggi. Meski begitu sinarnya belum terlalu menyengat. Hanya suara ribut burung bul-bul dan elang yang berkoak-koak di udara dan pohon taman kota.
‘’Ya kita ke sana. Mudah-mudahan ada Taliban,’’ tukasku kepada Hafiz. Dia menjawabnya sambil tersenyum seraya masuk ke mobil pajero hitam yang sudah menungu kami.
“Sampeyan ngerti uwong mau,’’ toba Hafiz mengajaku bicara pakai bahasa Jawa. Aku jawab dengan menggeleng.
‘’Dia intel Pakistan,’’ katanya pendek. Aku pun tercekat sejenak. Dan di situ aku baru sadar betapa hebat insting Hafiz yang seorang diplomat. Meski hanya bertemu sekilas, dia bisa menyimpulkan siapa orang yang di mengajaku berbincang.
‘’Kamu sadar ngak di awasi. Kami juga dianggap Taliban ha ha ha. Paling tidak kamu dianggap Taliban dari Jogja!,’’ sambung Hafiz.
Mendengar ledekan itu aku hanya garuk-garuk kepala.
‘’Ya Taliban, I am coming...!”
Antara Taliban Suni dan Alqaidah yang Wahabi