IHRAM.CO.ID, JAKARTA – Salah satu aspek yang perlu digarisbawahi dari berpoligami adalah perihal keadilan pemberian tanggung jawab. Baik terhadap istri pertama, maupun istri selanjutnya, hingga anak-anaknya. Dalam hal keadilan ini, Nabi Muhammad SAW bahkan telah menegaskan secara tegas kepada umatnya.
Dalam buku Muamalah Menurut Alquran, Sunah, dan Para Ulama karya Muhammad Bagir dijelaskan mengenai hadis Nabi. Telah diriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah bersabda: “Barang siapa yang memiliki dua orang istri lalu dia lebih cenderung kepada salah seorang di antara keduanya, maka dia akan datang pada hari kiamat kelak dengan sebelah tubuhnya miring,”.
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Tirmidzi, Imam An-Nasa’I, dan Imam Ibnu Majah. Sementara kalangan Muslim yang mengacu pada pandangan bolehnya berpoligami kerap menggunakan Surah An-Nisa ayat 3 berbunyi: “Wa in khiftum alla taqsithu fil-yataama fankihu maa thaba lakum minannisaa-I wa tsulatsa wa ruba’a. Fa in khiftum alla ta’diluu fawaahidatan aw maa malakat aymaanukum dzalika adnaa allaa ta’dilu,”.
Yang artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku ail terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi (dan dia juga senang denganmu); dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja dari budak-budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya,”.
Dijelaskan bahwa seorang ulama ahli tafsir, Syekh Muhammad Abduh, pernah memberikan komentar mengenai adanya ‘ketakutan’ tidak dapat berlaku adil sebagaimana ayat di atas. Menurutnya, tidak dapat berlaku adil di sini bukan saja terpenuhi dengan adanya dugaan kuat atau kekhawatiran di dalam hati saja, namun juga adanya perkiraan kemungkinan meski sedikit saja.
Karenanya, dijelaskan, suami yang dibolehkan mengawini lebih dari satu orang istri adalah yang benar-benar yakin bahwa dirinya mampu bersikap adil, seadil-adilnya. Selanjutnya dijelaskan, dari redaksi ayat tersebut juga Syekh Muhammad Abduh bependapat, kesimpulan dibolehkannya laki-laki berpoligami merupakan hal yang dipersempit sebagai suatu perbuatan darurat yang tidak dibenarkan melakukannya kecuali orang yang sangat memerlukannya.