Selasa 02 Feb 2021 05:03 WIB

Kasus aktif Covid-19 Indonesia tertinggi di Asia

Kasus aktif Covid-19 Indonesia tertinggi di Asia, melampaui India

Petugas kesehatan mengambil sampel usap saat tes cepat antigen COVID-19 di Lapangan Puputan Badung, Denpasar, Bali, Senin (1/2/2021). Tes cepat antigen gratis yang digelar di ruang publik tersebut menyasar pedagang, juru parkir dan masyarakat umum untuk menekan jumlah kasus COVID-19 yang mengalami peningkatan di Kota Denpasar.
Foto:

Perlu evaluasi strategi penanganan pandemi

Di saat negara-negara tetangga bisa melandaikan kurva dan mulai menghadapi gelombang kedua penularan, Indonesia masih berjuang menghadapi gelombang pertama yang belum mencapai puncaknya.

Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan situasi penularan dan angka kematian yang sesungguhnya bisa jadi lebih buruk dibandingkan data resmi yang dirilis pemerintah.

Hal itu disebabkan oleh kapasitas pendeteksian kasus yang belum sebanding dengan laju penularan kasus serta buruknya sistem pencatatan data.

Kelemahan dalam data, lanjut dia, menjadi salah satu poin paling penting yang perlu dibenahi Indonesia untuk dapat mengukur strategi dan kebijakan penanganan pandemi yang tepat.

“Dengan kelemahan data itu saja kita sudah melihat angka kematian anak di Indonesia salah satu yang tinggi, kematian tenaga kesehatan itu juga tinggi,” kata Dicky kepada Anadolu Agency, Senin.

Dia merujuk pada data Ikatan Dokter Indonesia (IDI), di mana 647 tenaga kesehatan meninggal selama pandemi dan angka ini merupakan yang tertinggi di Asia berdasarkan perbandingan statistik tes dan populasi.

Angka kematian yang mencapai ratusan per hari menunjukkan bahwa strategi penanganan pandemi yang berlaku tidak tepat dan perlu dievaluasi.

“Kita terus dalam gelombang pertama yang belum melandai karena strategi yang diberlakukan tidak tepat. Strateginya harus dievaluasi,” ujar dia.

Pemerintah memilih pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) sebagai respons atas lonjakan kasus pasca-libur akhir tahun. Kebijakan ini lebih longgar dibandingkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berlaku pada masa awal pandemi.

Menurut Dicky, PPKM yang telah berjalan di Jawa dan Bali sejak pertengahan Januari 2021 belum menunjukkan efektivitasnya.

Dia justru menilai respons pemerintah ini tidak sebanding dengan besarnya masalah yang dihadapi Indonesia, dimana penularan Covid-19 tidak terkendali.

Hal itu tampak dari tingginya positivity rate di Indonesia dan meningkatnya tren kasus kematian.

Di sisi lain, pelaksanaan tes, penelusuran kontak, serta isolasi mandiri bagi kasus positif di Indonesia juga belum berjalan maksimal.

Kementerian Kesehatan telah melakukan tes terhadap 5 juta orang sejak awal pandemi, namun jumlah suspect yang masih menunggu hasil tes masih lebih dari 70 ribu orang.

Meski jumlah tes mingguan telah melampaui target WHO sebesar 1 tes per 1.000 penduduk per minggu, namun masih banyak kasus positif yang belum terlacak.

“Kalau positivity rate nya belum mencapai 5 persen sesuai standar WHO, berarti tes, lacak, dan isolasinya masih harus ditingkatkan,” tutur dia.

Dalam situasi ini, Dicky menilai sudah saatnya pemerintah memberlakukan PSBB untuk melonggarkan beban tenaga kesehatan dan rumah sakit yang diambang kolaps akibat tingginya jumlah pasien yang harus ditangani.

“Ini urgent dan timing-nya sudah terpenuhi untuk Pulau Jawa, sebelum terlambat,” kata Dicky.

“Jangan lupa dukungan pada masyarakat rawan ekonomi,” lanjut dia.

Belajar dari India

Sebagai negara dengan populasi terbesar kedua di dunia, India dinilai telah cukup berhasil melandaikan kurva penularan Covid-19.

Puncak pandemi di India terjadi pada September 2020, dimana mereka mencatat hampir 100 ribu kasus baru per hari.

Kurva kasus di India kemudian berangsur melandai hingga saat ini dengan jumlah kasus baru harian di bawah 15 ribu dengan positivity rate berkisar 5 persen.

Dicky mengatakan keberhasilan India melandaikan kurva terjadi karena penguatan tes, penelusuran kontak, serta isolasi mandiri. India pernah mengetes hingga hampir 1,5 juta orang per hari.

Saat itu, India telah menggunakan tes antigen untuk melacak kasus baru dan melakukan pooling test.

“Mereka (India) memperkuat pelacakan door to door, jadi proaktif sekali. Pendeteksian kasus aktifnya juga melibatkan kader-kader, terutama perempuan, sampai di level desa dan perumahan,” ujar Dicky.

Dia menuturkan Indonesia seharusnya bisa belajar dari cara penanganan pandemi di India, yang secara populasi jauh lebih besar dan secara ekonomi tidak jauh berbeda.

“Pemerintah harus berani mengambil kebijakan pembatasan yang lebih ketat, diikuti dengan tes, pelacakan kasus, dan isolasi yang masif,” tutur Dicky.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement