Kamis 04 Mar 2021 05:17 WIB

Apa Hukum Menunaikan Ibadah Haji dalam Masa Iddah?

Membahas masalah ini harus berpijak pada tujuan pokok ajaran Islam.

Apa Hukum Menunaikan Ibadah Haji dalam Masa Iddah?
Foto:

Hal itu juga demi mengangkat harkat dan martabat wanita itu sendiri, mengingat wanita itu lebih perasa dalam menyikapi apa pun dalam kehidupan ini. Betapa tidak pantasnya jika seorang wanita yang baru berpisah dari suaminya lalu keluar rumah dengan berhias dan berharum ria, maka kesan negatif justru akan dilekatkan kepadanya oleh masyarakat.

Berpijak dari pemahaman al-mashlahah di atas, maka hukum berangkat menunaikan ibadah haji bagi wanita yang berada dalam masa iddah dibedakan sebagai berikut:

Bagi wanita yang dalam masa iddah karena cerai tidak diperkenankan pergi haji tanpa izin suaminya, karena selama menjalani masa iddah wanita tersebut berada dalam tanggung jawab dan wewenang suaminya. Hal ini di samping didasarkan pada firman Allah dalam surah ath-Thalaq ayat 1 di atas, juga didasarkan pada makna firman Allah: Dan para suami mereka lebih berhak merujuk mereka dalam masa iddah itu apabila para suami tersebut meng hendaki ishlah (al-Baqarah: 228). Kalaupun suami mengizinkan, tapi tetap harus ada mahram atau pendamping yang menjamin keamanan dan keselamatannya.

Sedang bagi wanita yang menjalani masa iddah karena ditinggal mati suaminya diperbolehkan berangkat menunaikan ibadah haji, asal ada mahram atau pendamping yang menjamin keamanan dan keselamatannya. Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Abu Dawud dan an-Nasa'i di atas bahwa Rasulullah mengizinkan bibinya Jabir bin Abdullah untuk pergi ke kebun memetik kurma guna memenuhi kebutuhan asasi sehari-hari.

Menunaikan ibadah haji zaman sekarang bukan hanya terkait kemampuan seseorang untuk melunasi biayanya, tetapi lebih tergantung pada adanya porsi haji yang masa tunggunya amat lama itu. Dalam perspektif ushul fiqih, urgensi memanfaatkan porsi guna menunaikan ibadah haji ini dapat diqiyaskan dengan urgensi pergi ke kebun guna memetik kurma, bahkan termasuk kategori qiyas aulawi (analogi prioritas), mengingat untuk mendapatkan porsi haji jauh lebih sulit daripada mendapatkan kurma.

 

Apalagi dalam perspektif psikologis, wanita yang baru ditinggal mati suaminya tentu amat berduka. Dengan menunaikan ibadah haji tersebut, diharapkan akan mendapat pelipur lara ketika berada di tanah suci menunaikan prosesi ritual haji, bahkan dapat secara intensif berdoa untuk diri dan almarhum suaminya. Ini tentu merupakan solusi spiritual yang luar biasa efek positifnya. Wallahu a'lam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement