"Dalam beberapa hari, semua cadangan air tanah kosong, dan desa tidak dapat mengganti air yang hilang karena kelangkaan hujan. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan pada kerak bumi, yang menyebabkan serangkaian retakan yang menyebar ke seluruh desa," kenang Al-Mawkaa.
Ahli geologi Mubarak Al-Salamah, seorang pakar pariwisata gurun dan lingkungan, mengatakan desa Tabah menjadi menarik bagi wisatawan dari dalam dan luar Kerajaan. Saat itu (1983), pemerintah mengirimkan tim dari Kementerian Dalam Negeri, Pertanian dan Air, Kementerian Perminyakan dan Sumber Daya Mineral, serta Kementerian Perkotaan dan Desa.
"Saya adalah anggota tim itu, yang membuat rekomendasi setelah memeriksa retakan, sambungan, dan belahan. Rekomendasi ini mendorong pemerintah memindahkan warga ke luar kawah dan memberi mereka rumah baru," ujarnya.
Penurunan tanah yang disertai retakan dan celah (belahan) menyebabkan berkembangnya rekahan yang membentang dalam jarak yang jauh di sepanjang kawah. Menurut Al-Salamah, rekahan itu memiliki diameter sekitar dua kilometer di beberapa titik.
"Dengan ini, gunung berapi yang berbentuk kerucut berubah menjadi bentuk corong, dan karena sistem drainase dibatasi, air hujan dikumpulkan di dalam kawah dan membentuk reservoir air tanah," lanjutnya.
Ia lantas menjelaskan kondisi yang mengarah pada evakuasi desa. Al-Salamah mengatakan, dahulu desa itu tidak terpengaruh oleh ketidakseimbangan konsumsi air.