Tidak ada jaminan bahwa kelompok Islamis akan mengambil alih kekuasaan, dan mereka telah memberi isyarat yang mungkin secara oportunistik, bahwa pemerintahan masa depan mereka akan lebih fleksibel dalam masalah sekolah perempuan.
"Jika mereka memiliki masalah dengan pendidikan bersama, saya siap untuk belajar di kelas khusus perempuan," katanya.
Mahasiswa ekonomi Salma Ehrari merasa ragu. Dia menilai Taliban membodohi semua orang dan tidak akan berubah sampai kapanpun.
Beberapa warga sipil perempuan di provinsi, di mana Taliban menguasai beberapa distrik, mengatakan keamanan yang memburuk sudah mengarah pada pembatasan kebebasan mereka.
Setidaknya delapan jurnalis telah tewas di negara itu selama enam bulan terakhir. Kekerasan terjadi sebagai bagian dari gelombang serangan terhadap pekerja media, aktivis, dan tokoh masyarakat sipil lainnya.
Seorang aktivis sosial Basireh Safa Theri memulai sekolah anak perempuan setelah invasi yang dipimpin AS. Dia mengatakan, masih memantau dengan cermat negosiasi yang terhenti antara pemerintah nasional dan Taliban tentang konsekuensi yang bakal terjadi setelah pasukan asing pergi.
"Mereka bernegosiasi setiap hari tapi sayangnya tidak ada kabar tentang pendidikan anak perempuan, mereka hanya berbicara tentang kekuasaan," katanya.
Sementara itu, para gadis di sekolahnya sudah mulai giat belajar. "Mereka merasa berada di hari-hari terakhir sekolah mereka," katanya.
sumber:
https://www.theguardian.com/world/2021/apr/14/afghan-women-fear-the-return-of-the-taliban