IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu negara di Asia Tengah, Tajikistan telah berubah dengan cepat, khususnya ibu kota Dushanbe yang disulap dengan menara dan gedung megah. Perubahan ini menghilangkan arsitektur kota Soviet, seperti hancurnya rumah-rumah penduduk akibat konstruksi skala besar yang memicu perdebatan bagi penduduk asli Soviet Dushanbe yang berbicara bahasa Rusia.
Mereka secara vokal menentang perubahan ini karena dinilai telah menghapus sejarah. Sedangkan penduduk kota yang berbahasa Tajik, banyak dari mereka yang pindah dari pedesaan dan melihat perubahan ini sebagai tanda dari bangsa yang akan menjadi negaranya sendiri.
Demi mengubah kota Dushanbe, beberapa arsitektur lama harus dihancurkan, misalnya pembongkaran Teater Mayakovsky pada 2016 lalu. Pembuat Film dan Penyair asal Dushanbe, Anisa Sabiri (29 tahun) mengutuk pembongkaran tersebut dan menulisnya dalam kolom opini di surat kabar lokal. Bergaya konstruktivis Soviet pada tahun 1924, pada awalnya bangunan itu berfungsi sebagai rumah petani. Pada tanggal 19 Oktober 1929, di atas panggung, warga Tajik, Nusratullo Makhsum mendeklarasikan pembentukan Republik Sosialis Soviet Tajik.
Setelah Tajikistan merdeka pada tahun 1991, bangunan tersebut menampung kelompok teater paling produktif dan sangat terkenal di Tajikistan. Selama perang saudara lima tahun setelah kemerdekaan, rombongan Teater Mayakovsky menghibur pasukan pemerintah dan pada tahun-tahun setelah perang saudara, teater berfungsi sebagai salah satu sisa budaya Soviet yang tersisa di kota.
Oleh karena itu, penghancuran teater memicu kemarahan publik. Sayangnya, pemerintah tidak menanggapinya. Padahal permintaan untuk melestarikan bangunan itu dan petisi terbuka tetap berlangsung. Namun, pemeritah tetaap melanjutkan rencana pembokarannya pada musim gugur 2016.
Rangkaian penghancuran berlanjut pada bangunan bersejarah lain di seluruh Dushanbe. Ada bioskop Jomi yang didirikan pada 1956 dan gedung administrasi kota yang dibangun pada 1950 dengan gaya arsitektur Eropa runtuh pada Maret 2017. Setahun kemudian, Green Theatre yang dibangun pada 1933 dan menjadi tempat rombongan teater yang dievakuasi dari Leningrad dan Moskow selama invasi Nazi tahun 1940-an akhirnya runtuh.
Penghancuran ini kian berlanjut sampai Februari 2020. Keputusan telah dibuat untuk menghancurkan bekas istana kepresidenan yang dibangun tahun 1957. Sekarang, bangunan bersejarah itu sedang dirobohkan untuk memberi ruang bagi istana baru yang didanai pemerintah China yang akan menjadi pusat dari kompleks pemerintahan baru.
Dilansir Aljazirah, Selasa (20/4), sejumlah warga memandang rangkaian pembongkaran bangunan sebagai penghapusan sejarah Soviet Dushanbe. Mereka yang menentangnya sangat merindukan masa lalu Soviet yang ideal, yakni penduduk asli kota yang berbahasa Rusia memegang peran budaya.
Aktivis Sosial, Aziza Kosimova (21 tahun) menjelaskan mayoritas penduduk kota yang kurang beruntung secara ekonomi tidak mengkhawatirkan nasib bangunan bersejarah. “Lihatlah hierarki sosial, warga kita tidak punya waktu untuk berpikir tentang transformasi kota karena seseorang harus memiliki kehidupan yang lebih baik terlebih dahulu. Mereka hampir tidak menghasilkan cukup uang untuk menjalani hari ini,” ujar dia.
Modernisasi infrastruktur ini digabungkan dengan proses budaya dan sosial yang mendorong bahasa Tajik, menekan praktik agama dan keluarga lokal, dan menekankan pembangunan negara sosialis Soviet baru dengan mengorbankan sentimen nasionalis lokal. Selama bertahun-tahun, proses tersebut menciptakan kelas penduduk perkotaan yang berpendidikan dan berbahasa Rusia. Namun, penduduk pedesaan yang terpinggirkan, menciptakan jurang dalam memandang era Soviet.
Dalam enam dekade setelah Dushanbe menjadi ibu kota yang mengalami perubahan nama menjadi Stalinabad pada tahun 1929 dan kembali pada tahun 1961, kota ini berubah menjadi kota kosmopolitan. Pada tahun 1989, hanya dua perlima dari 600 ribu penduduk kota adalah etnis Tajik, Rusia terdiri dari sepertiga populasi, Uzbek sepersepuluh, dan Tatar, Ukraina, dan Yahudi 10 persen. Bahasa Rusia adalah bahasa pergaulan kota yang juga memiliki diaspora besar orang Jerman, Korea, Ossetia, dan Armenia.