IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Pancasila adalah titik temu ideologi kebangsaan dan ideologi keagamaan yang berbasis pada nilai-nilai Islam. Hal ini disampaikan Sekretaris Direktorat Jenderal (Sesditjen) Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam Kementerian Agama (Kemenag), Muhammad Fuad Nasar di momen Hari Lahir Pancasila.
Fuad mengatakan, rumusan otentik Pancasila sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pertama kali dikemukakan oleh Soekarno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada 1 Juni 1945. Bung Karno semasa hidupnya selalu mengatakan bahwa dirinya bukan penemu atau pengarang Pancasila, melainkan hanya sebagai penggali Pancasila dari warisan budaya bangsa. Galian itu kemudian disampaikan pada sidang BPUPKI dengan nama Pancasila.
"Pancasila yang diusulkan Bung Karno tersebut dirumuskan dan disempurnakan susunannya oleh Panitia Sembilan yang dibentuk BPUPKI dan disepakati sebagai konsensus nasional pada 22 Juni 1945 atau dikenal sebagai Piagam Jakarta (Jakarta Charter)," kata Fuad melalui pesan tertulis kepada Republika, Selasa (1/6).
Ia menjelaskan, Panitia Sembilan diketuai Bung Karno terdiri dari sembilan orang tokoh bangsa mewakili berbagai unsur organisasi pergerakan, suku dan agama. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, digelar sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945.
Fuad mengatakan, sidang PPKI pada hari itu antara lain mengesahkan UUD 1945. Di dalam Pembukaan UUD 1945 dimuat rumusan final Pancasila. "Sebagai ideologi yang mempersatukan bangsa untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan, Pancasila adalah titik temu ideologi kebangsaan dan ideologi keagamaan yang berbasis pada nilai-nilai Islam," ujarnya.
Oleh karena itu, Fuad menerangkan, para pemimpin dan tokoh Islam sejak awal lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menerima dasar negara Pancasila. Hal itu bukan saja karena umat Islam memiliki andil besar dan menentukan dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan serta dalam pembentukan negara, tetapi karena tidak ada satu pun dari lima sila Pancasila itu yang bertentangan dengan ajaran Islam.
Umat Islam yang diwakili oleh para ulama, pemimpin dan tokohnya, menerima Pancasila bukan karena alasan taktis-politis, tetapi karena alasan teologis- filosofis. "Saya menerima Pancasila, terutama sila Ketuhanan Yang Maha Esa, karena saya adalah orang Islam," ini disampaikan tokoh pejuang kemerdekaan dan diplomat Mohamad Roem (1908-1983).
Fuad mengatakan, Pancasila dipandang sebagai dasar negara yang paling tepat untuk eksistensi NKRI. Tantangan bangsa Indonesia di masa kini dan mendatang adalah mengaktualisasikan secara konsekuen Pancasila sebagai pedoman dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah.
"Pancasila bukan sekadar semboyan untuk dibaca dan dihafalkan. Pancasila adalah ideologi yang hidup (the living ideology) dan harus ditegakkan untuk memayungi kebhinekaan bangsa. Ideologi apapun kalau tidak dijalankan dalam kehidupan nyata bernegara tak akan memberi pengaruh dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara," jelasnya.
Fuad mengingatkan, di bawah panji-panji falsafah dasar negara Pancasila, semua anak bangsa dengan jiwa besar semestinya menghormati keragaman dan mendialogkan perbedaan guna menemukan titik persamaan dalam Bhinneka Tunggal Ika. Pembangunan manusia dan kebudayaan, hukum, politik, demokrasi, hak asasi manusia, ekonomi, teknologi, kemaritiman, kerjasama internasional dan sebagainya, haruslah senantiasa mencerminkan nilai-nilai fundamental Pancasila sebagai jatidiri bangsa.
"Pengembangan Pancasila tidak dapat dipisahkan dari jiwa dan semangat beragama. Sekularisme dan liberalisme dalam bentuk apapun bertentangan dengan Pancasila," tegas Fuad.
Fuad mengatakan, pemikiran para pendiri bangsa perlu dibaca dan dipahami oleh generasi muda agar tidak terombang-ambing dalam menjaga NKRI mengharungi samudera masa depan. Segenap elemen bangsa perlu menahan diri untuk tidak memperuncing hal-hal yang bisa menimbulkan kesalahpahaman dan pertentangan di kalangan umat beragama dan sesama warga bangsa. Dalam hubungan ini, benturan dan intoleransi antara keyakinan agama dan ideologi negara perlu dicegah dan dihindari.