REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada masa-masa tablig Rasulullah SAW, Masjid Nabawi menjadi pusat politik Islam selain sebagai tempat menegakan kalimat Tauhid. Rasulullah membangun kamar-kamar tempat sahabat yang mau bermukim di komplek Masjid Nabawi.
Ahmad Rofi Usmani dalam bukunya 'Makkah dan Madinah' mengatakan di bawah nungan atap bagian selatan ada beberapa sahabat tinggal (mukimin) di Masjid Nabawai yang sudah melepas urusan dunia (Ahl Al-Shuffah).
Meski beberapa sahabat memutuskan jadi Ahl Al-Shuffah mereka bukanlah kaum papa yang bermungkim di tempat itu dengan mengharapkan uluran kebaikan orang-orang beriman lainnya.
"Karena di antara mereka terdapat nama beberapa orang yang jauh dari kemiskinan kemiskinan alias kaya raya," katanya.
Lagipula, para sahabat, bagaimanapun kondisi mereka, tak akan menerima hidup dari uluran kebaikan para sahabat yang lain. Demikian halnya, tentu Rasulullah SAW akan rela melihat salah seorang sahabatnya hidup dengan menggantungkan diri pada bantuan orang lain.
Adanya Perumahan Rasulullah SAW di lingkungan Masjid Nabawi itu membuat posisi masjid tersebut yang penting. Ini karena masjid tersebut berfungsi sebagai pusat politik masyarakat Islam selain tempat menyampaikan muzakarah yang bersumber dari wahyu.
"Kemungkinan besar demikianlah maksud beliau tatkala memutuskan membuat kamar kamar di lingkungan masjid tersebut," katanya.
Padahal, bukan hal sulit bagi beliau untuk membangun tempat tinggal di luar Masjid. Namun, beliau membuat tempat tinggal di dalam lingkungan Masjid itu sehingga masih itu menjadi pusat politik masyarakat Islam.
Beliau juga bermaksud agar kaum muslimin melihat melihat secara langsung, sebagaimana beliau hidup meski memiliki kekuasaan yang besar. Sehingga, hal itu menjadi suri teladan bagi orang-orang yang menduduki jabatan sebagai pelayan masyarakat.
Selepas Rasulullah SAW meninggal, masjid Nabawi tetap mendapat perhatian lewat pemugaran dan perluasan. Pemugaran pertama selepas Rasulullah SAW berpulang dilakukan oleh Abu Bakar As-Siddiq.
"Pemugaran kali ini dilakukan dengan tetap memelihara bentuk yang ada sebelumnya," katanya.
Ayahanda Aisyah, istri tercinta Rasulullah ini mengganti batang batang pohon kurma lama dengan batang batang pohon kurma baru pada 12H/633M. Pemugaran berikutnya, pada 17H/638M dilakukan oleh Umar Ibn al-Khattab selama proses pembangunan, sang khalifah kedua dalam sejarah Islam itu senantiasa berpesan kepada para tukang untuk tidak mewarnai masjid tersebut.
"Baik kuning maupun merah, supaya warna Masjid itu tak membuat orang-orang terpikat," katanya.
Selain itu ia juga ia juga menambah panjang masjid dengan memundurkan dinding kiblat sebanyak 10 hasta. Di samping menambah lebarnya sehingga menjadi 120 hasta, sehingga, pada masa ini, Masjid itu menjadi memiliki luas 3.575 meter.