Senin 21 Jun 2021 08:57 WIB

Ada Apa Nanti Usai Israel Sebut Presiden Iran Ekstrimis?

Apakah ada proses baru setelah Israel Sebut Presiden Baru Iran Ekstrimis

Pendukung Presiden Iran Ebrahim Raeisi.
Foto:

Sudah lama berperang kata

Bila dilihat dari sejarahnya Israel dan Iran sudah lama beperang kata-kata, bahkan kadang konflik bersenjata. Ini terjadi setelah penguasa Islam Iran pada 1979 dengan dikomandoi Ayatullah Khomaeni menggusur kekuasaan Sah Reza Pahlevi yang merupakan sekutu Amerika Serikat dari tampuk kekuasaan.

Dan perseteruan Israel dan Iran makin menjadi ketika terkait soal pengayaan nuklir. Iran terus saja membandel dari sanksi Amerika Serikat agat tidak meneruskan proyek nuklirnya. Iran pun tak peduli serta tak hirau meski Amerika Serikat dan sekutunya memblokade ekonomoninya.

Israel makin geram ketika semakin lama kekuatan Iran  kian menguat di kawasan. Berbagai faksi militer di Lebanon, Irak, dan Palestina malah menjadi sekutunya. Bahkan kekuatan politik dan persenjataan mereka tak bisa disepelekan. Di Palestina misalnya, roket-roket Hamas semakin canggih atas bantuan teknologi dari Iran. Di Lebanon, Hizbullah yang bermarkas di Beirut selatan menjadi kekuatan yang tak bisa dianggap remeh. Apalagi kini kekuatan pemerintahan baru di Irak pasca Sadam Husein menjadi sekutunya.

Khususnya untuk soal nuklir, Israel memang sangat mengkhawatirkan Iran. Beberapa kali pesawat pembom F16 miliknya menyerbu reaktor nuklir Iran. Namun, alih-alih membuat Iran lemah, malah membuat Iran semakin marah. Kata-kata dan seruan Israel harus tak ada lagi dalam peta bila ingin damai lazim terdengar. Mereka mengadopsi semangat dari kata-kata dari Ayatolah Khomaeni yang dahulu menyatakan bila Amerika Serikat dan sekutunya adalah 'setan besar'.

Dalam kasus terakhir, yani serangan Israel selama 11 hari di Gaza, para pejabat Iran pun telah meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa dan sesama negara Muslim untuk turun tangan menghentikan apa yang disebut sebagai politik "apartheid" Israel kepada Palestina.

Seperti diketahui, Dewan Tinggi Hak Asasi Manusia Iran – sebuah entitas di bawah Dewan Keamanan Nasional Tertinggi yang saat ini dipimpin oleh kepala kehakiman Ebrahim Raisi dan terdiri dari beberapa menteri – telah menulis surat kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk mengambil tindakan atas “tindakan genosida” dan "pembersihan ras" yang dilakukan oleh Israel.

Surat pada hari Minggu, dilihat yang telah  dilhat Al Jazeera, mengatakan keheningan, pernyataan ambigu, dan yang dikeluarkan untuk mendukung "hak membela diri" Israel - seperti yang telah dikeluarkan Amerika Serikat - pada situasi yang berlangsung di Gaza telah melanggengkan konflik selama beberapa dekade.

Dewan tersebut juga telah meminta PBB untuk mengakui bahwa Israel melakukan “kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang”, membentuk komisi pencari fakta, menarik perhatian semua negara anggotanya, dan menggunakan mekanisme hak asasi manusianya.

Selain itu dewan tersebut juga menyatakan bahwa perlindungan hak kembali semua warga Palestina yang terlantar di seluruh dunia dan kemudian perlindungan hak untuk menentukan nasib sendiri rakyat Palestina melalui referendum, akan menjadi solusi terbaik.

Bila melihat situasi itu, maka ke depan tampaknya tensi hubungan panas Israel dengan Iran tak akan menurun. Kedua kekuatan ini akan terus melakukan aksinya untuk mempengaruhi kondisi kawasan dengan saling melemahkan.

Dan kalau Israel sebut presiden baru Iran ekstrimis, begitu juga Iran bisa membalasnya karena tahu sosok Perdana Menteri Israel yang baru Naftali Bennett  juga dari kubu yang bisa disebut ekstrimis, Yahudi ultra ortodoks. Bahkan Bennet dengan terang-terang menyatakan pernah berulangkali membunuh orang Palestina (Arab).

Jadi harapannya janganlah kedua negara yang mempunyai pengaruh di kawasan Timur Tengah masuk dalam permainan 'Zero Sum Game'. Bila terjadi dengan sikap saling esktrim meniadakan, maka ujungnya hanya satu: hadir atau tersingkir!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement