Utusan Belanda di pertemuan itu tampak berang, tetapi tidak bisa melakukan apa-apa. Seusai rapat, petugas Belanda berdiri di muka pintu, hendak membagi-bagikan amplop berisi uang.
"Apa ini?"tanya Oei keras.
Ini uang sidang, 25 gulden!jawab si petugas. Amplop itu segera dicampakkan Oei. Baginya, haram makan uang dari penjajah negerinya. Sebelum pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pada 1949, aktivis Muhammadiyah ini sempat dipenjara Belanda.
Meskipun diiming-imingi jabatan di perusahaan-perusahaan Belanda dengan syarat mau bekerja sama menentang Indonesia, dirinya tetap setia pada perjuangan. Pendirian saya tidak bisa dibeli dengan apa pun,katanya. Sejak 1950, RI umumnya dapat lepas dari rongrongan Belanda.
Rakyat dan pemimpin mulai bisa berfokus membangun negeri. Lepas masa revolusi, reputasi Oei kian berkibar sebagai seorang tokoh nasional. Pada 6 Juli 1963, sang pejuang bersama dengan Abdusomad Yap A Siong dan Kho Goan Tjin mendirikan Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) di Jakarta. PITI adalah gabungan dari dua organisasi sebelumnya, yaitu Persatuan Islam Tionghoa di Medan dan Persatuan Tionghoa Muslim di Bengkulu.