Ahad 18 Jul 2021 20:12 WIB

Pesan Ulama Sepuh: Lawan Fitnah Di Tengah Wabah

Waspadalah Fitnah dalam pandemi corona

Santri Jawa
Foto:

Sense of Crisis

Tentu, kita tak bisa membiarkan itu semua terus terjadi. Meremehkan pun jangan, karena pada akhirnya masyarakatlah yang akan jadi korban. Maka, yang paling utama saat ini adalah menyamakan frekuensi. Bahwa kita sedang mengalami krisis. Titik.

Kita tak mungkin lagi memperdebatkan istilah dan definisi soal krisis itu. Yang pasti, kini ketidakpastian dan perubahan sangat tidak menguntungkan, destruktif, kritis, mengancam jiwa, dan perlu waktu yang cukup lama untuk memulihkannya.

Karena itu, yang mesti ditumbuhkan adalah kepekaan, kewaspadaan, dan kesiapsiagaan. Inilah sense of crisis yang harus dikedepankan. Menumbuhkannya menjadi sikap dan kesadaran bersama, baik penyelenggara pemerintahan maupun seluruh kekuatan masyarakat, adalah keniscayaan. Tentu para pejabat pemerintahan yang harus memberikan keteladanan. Sudah berulang kali Presiden Jokowi juga menegaskan soal ini.

Di situlah pentingnya kesadaran bersama, tidak sekadar menerapkan Prokes 5 M (Memakai masker, Menjaga jarak, Mencuci tangan, Menghindari kerumunan, Mengurangi mobilitas) secara ketat. Lebih dari itu, kita juga perlu Protokol Krisis (Prokris), terlebih untuk para penyelenggara pemerintahan dan pengambil kebijakan.

Prokris dimaksud adalah 5 C. Yakni Calm, tak lain adalah ketenangan. Ini yang harus menjadi sikap dasar kita menghadapi segala kondisi, apalagi dalam situasi seperti ini. Hanya dengan ketenangan kita bisa berpikir dengan jernih. Tanpa itu, kita akan selalu gagap. Terhadap berbagai pemberitaan misalnya, kita harus menyikapinya dengan tenang. Apalagi pemerintah, haruslah menciptakan situasi itu. Para pejabat juga jangan malah sibuk sendiri, membuat pernyataan dan langkah yang justru membingungkan. 

Selanjutnya Confidence, keyakinan atau kepercayaan diri. Bahwa kita bisa menghadapi situasi ini dengan baik. Covid-19 adalah musibah yang sudah jelas ukurannya. Tuhan memberikan ujian sesuai batas kemampuan, haruslah menjadi dasar keyakinan yang harus selalu ditanamkan. Namun, kepercayaan diri para pemimpin khususnya mesti tercermin dalam sikap, ucapan, tindakan, dan kebijakan, yang selalu mengayomi. Contingency plan atau rencana darurat juga perlu dirumuskan secara lebih terperinci agar mempunyai panduan ketika harus mengambil langkah yang mendesak.

Berikut adalah Clarity, kejelasan sikap dan langkah. Jangan terpaku pada persoalan yang tak jelas, apalagi berita yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sumbernya, karena akan pasti menjerumuskan. Di sinilah perlunya selalu "tabayun" (clarification) terhadap berbagai informasi, sehingga setiap "aksi" akan terkendali. Untuk penyelenggara pemerintahan dan pengambil kebijakan khususnya, perlu kejelasan action plan yang detail, spesifik, dan bisa segera dieksekusi.

Yang juga sangat penting adalah Care, kepedulian kepada sesama. Saling menyemangati, memotivasi, dan saling berbagi, meskipun sekadar berbagi informasi yang bisa menguatkan dalam menghadapi segala cobaan. Berempati terhadap setiap penderitaan. Di sinilah kita semua harus menunjukkan sensitivitas yang tinggi. Tentu, para pemimpin khususnya tak cukup tampil sebagai "motivator." Kepeduliannya harus lebih tajam lagi. Mereka adalah para eksekutor, aksi di lapangan mestilah dikedepankan.

Dan yang terakhir, Consistent, ketetapan dan kemantapan dalam bertindak. Konsistensi, yang juga berarti menghilangkan segala keraguan, menjadi sikap dasar yang memandu setiap tindakan. Terhadap segala aturan yang ditetapkan berkaitan dengan Covid-19 sudah semestinya tak ragu lagi untuk ditegakkan. Semua harus konsisten!

Namun demikian, konsitensi bukanlah sikap kaku. Bagi para pemimpin khususnya, konsistensi itu mesti dibarengi dengan upaya yang sungguh-sungguh untuk mencari terobosan (creativity) baru. Kreativitas tanpa batas harus terus-menerus dikembangkan. Bukan sekadar melaksanakan rutinitas.

Dalam kerangka itulah semestinya kita merumuskan dan melakukan langkah lebih efektif lagi. Melawan fitnah di tengah wabah perlu menjadi gerakan bersama. Yang paling minimal, dalam hal ini Maulana Habib Lutfi bin Yahya, Rais Aam JATMAN dan Anggota Wantimpres RI, telah memberikan panduan.

"Kalau tidak bisa menjernihkan, setidaknya jangan memperkeruh. Kalau tidak bisa membantu, setidaknya jangan membebani. Kalau tidak bisa menciptakan tawa, setidaknya jangan menyebabkan luka." Demikian tausiyahnya.

Kalisuren, 18 Juli 2021

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement