IHRAM.CO.ID,JAKARTA--Seorang wanita muslim harus memiliki mahramnya ketika melakukan Safar termasuk safar untuk haji. Banyak dalil yang yang mengharamkan wanita muslim pergi sendiri ketika safar.
Al-Jama'ah selain Bukhari dan Nasa'i telah mengetengahkan hadits dari Abu Sa'id bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
"Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya untuk bepergian selama tiga hari atau lebih, kecuali disertai ayahnya, anak lelakinya, suaminya, saudara lelakinya, atau mahram yang lain."
Bukhari Muslim mengetengahkan hadits masih dari Abu Sa'id yang menyebutkan:
"Bahwasanya Rasulullah SAW melarang seorang wanita bepergian yang memakan waktu selama 2 hari atau 2 malam, kecuali jika disertai suaminya atau mahramnya yang lain."
Bukhari Muslim mengetengahkan hadits dari Abu Hurairah ra bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
"Tidak halal bagi seorang wanita menempuh perjalanan sehari semalam kecuali disertai mahramnya."
Bukhari Muslim juga mengetengahkan hadits dari Ibnu Umar, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
"Janganlah seseorang wanita mengadakan Safar selama tiga hari kecuali disertai mahramnya."
Abu Daud mengetengahkan hadis dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah bersabda:
"Janganlah seorang wanita menempuh perjalanan setengah hari kecuali disertai mahramnya."
Muslim dan Ahmad mengetengahkan hadis dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
"Janganlah seorang wanita menempuh Safar selama tiga hari kecuali ditemani mahramnya. "
Dalam riwayat lain disebutkan dengan lafaz:" "Perjalanan semalam." Dalam riwayat lain lagi disebutkan dengan lafaz."Perjalanan sehari".
Dr. Muhammad Utsman Al-Khasyt dalam bukunya "Haji dan Umroh wanita: Seri Fiqih Wanita 4 Mazhab" mengatakan, tidak ada pertentangan di antara riwayat-riwayat yang telah dipaparkan di atas. Sebab perbedaan pembatasan yang ada pada masing-masing riwayat disesuaikan dengan perbedaan tempat sesuai keberadaan si penanya.
Suatu ketika Rasulullah SAW ditanya tentang seorang wanita yang menempuh safar selama tiga hari tanpa disertai mahram, sehingga beliau bersabda.
"Janganlah seorang wanita menempuh safar selama tiga hari kecuali disertai mahramnya."
Begitu juga ketika ditanya tentang seorang wanita yang berpergian semalam 2 hari atau 2 malam atau suatu hari semalam tetap harus disertai mahramnya. Demikianlah, sehingga yang dimaksud adalah Safar secara mutlak, lebih dari itu, jika disebutkan pembatasan yang paling sedikit, maka hal itu tidaklah bertentangan dengan disebutkan yang pembatasannya yang paling banyak.
"Sebab ketika disebutkan pembatas yang paling sedikit, maka pembatas yang lebih banyak darinya tentu lebih dilarang," katanya.
Dalam hal ini tidak ada pembatasan minimal yang ada kaitannya dengan lafaz dari safar hal ini telah dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari Muslim dari Ibnu Abbas yang menyebutkan.
"Janganlah seorang wanita mengadakan safar kecuali bersama mahramnya."
Riwayat ini telah datang dengan lafaz yang mengandung arti mutlak dan mencakup seluruh cakupan makna safar.
Namun hal ini berbeda untuk seorang wanita muslim yang tidak memiliki suami boleh melakukan safar sendiri.
"Bahwa wanita yang tidak memiliki suami atau mahram boleh-boleh saja mengadakan Safar atau perjalanan naik haji jika rute perjalanan yang ditempuh nya aman dan dia bersama teman-teman serombongan yang terpercaya," kata Dr. Muhammad Utsman Al-Khasyt dalam bukunya "Haji dan Umroh wanita: Seri Fiqih Wanita 4 Mazhab".
Adapun Jika seorang wanita memiliki mahram atau teman wanita yang terpercaya. Bagaimana jika segala syarat menunaikan ibadah haji yang ditetapkan syariat sudah terpenuhi, baik syarat wajib, syarat wajib, atau syarat sah yang memang dibolehkan, dalam kondisi yang demikian apakah wajib bagi wanita yang bersangkutan meminta izin kepada suaminya jika memang punya suami untuk menaikkan ibadah haji?
Jika seorang wanita hendak berangkat naik haji, maka wajib baginya meminta izin kepada suaminya. Maka wajib pula bagi sang suami untuk memberi izin selama di sana tidak ada alasan yang bersifat prinsip yang menghalanginya untuk memberi izin, serta tidak dikawatirkan timbulnya sesuatu yang tidak diinginkan dalam safarnya itu.
"Jika suami memiliki alasan yang bersifat prinsip atau ada kekhawatiran terhadap timbulnya sesuatu yang tidak diinginkan dalam safarnya itu maka suami berhak melarang istrinya," katanya.
Sebab menolak kemudharatan harus lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan. Sementara mengakhirkan pelaksanaan ibadah haji merupakan keleluasaan dilihat dari sisi waktu, disamping memang jika dimungkinkan bagi wanita tersebut untuk mengerjakan Ibadah hajinya di tahun yang akan datang.
"Jika suami tidak memberi izin tanpa alasan yang jelas dan memadai, maka bagi sang istri boleh untuk berangkat menunaikan haji yang sifatnya fardhu meski menyelisihi suaminya," katanya.
Sebab meninggalkan haji yang sifatnya fardhu tanpa ada sebab yang jelas merupakan sebuah kemaksiatan. Apalagi ada dalil dari Nabi SAW telah bersabda.
"Jjka engkau diperintahkan untuk berbuat maksiat maka perintah itu tidak perlu mendengar dan menaati. Beliau juga telah bersabda sesungguhnya taat itu kepada ketaatan yang haq."