Rabu 01 Sep 2021 15:57 WIB

Buah Tin di Suriah yang Dikenal Mahal

Pedesaan selatan Idlib dikenal dengan produksi buah ara kering yang mahal

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Esthi Maharani
Buah tin
Foto: Middle East Eye
Buah tin

IHRAM.CO.ID, DAMASKUS -- Shaker Ahmed al-Zaytoun, dari kota Al-Bara di wilayah Jabal al-Zawiya di pedesaan Idlib, Suriah, kehilangan kakinya tahun lalu ketika ranjau darat meledak saat dia tengah memanen buah tin di lahannya. Tanahnya tersebut kebetulan dekat garis depan dengan pasukan pemerintah Bashar al-Assad.

Pria berusia 22 tahun itu adalah salah satu dari lebih dari sekitar 86.000 orang yang kehilangan anggota badan dalam konflik selama satu dekade di Suriah. Mulai Senin (30/8) pagi lalu, al-Zaytoun menuju lahan pertanian dan mulai menggoyangkan cabang-cabang pohon. Hanya buah tin kering yang jatuh ke tanah, yang siap dipanen.

Desa Jabal al-Zawiya dan pedesaan selatan Idlib terkenal dengan budidaya buah tin, yang merupakan sumber pendapatan utama bagi penduduk setempat.

Daerah ini dikenal dengan produksi buah ara kering yang mahal, yang dikenal karena manfaat kesehatannya. Buah tin diketahui merupakan sumber serat makanan yang sangat baik, dan diperkaya dengan vitamin dan mineral.

Untuk berkembang, buah tin membutuhkan musim dingin yang sejuk dan tanah yang dikeringkan dengan baik. Dibutuhkan empat atau lima tahun bagi pohon tersebut untuk panen.

Buah tin biasanya ditanam di semua desa di Jabal al-Zawiya karena kebutuhan pemeliharaan tanaman yang rendah, mulai dari irigasi hingga penyemprotan pestisida dan pemangkasan. Namun, pertanian telah terdampak akibat serangan militer 11 bulan, yang diluncurkan pada April 2019 oleh pemerintah Suriah dan pasukan Rusia yang pada akhirnya akan menguasai ratusan kota dan desa di sekitar Idlib, termasuk petak-petak lahan pertanian.

Akibat konflik tersebut, masyarakat Suriah dihadapkan dengan kondisi kehidupan yang memburuk. Banyak dari mereka yang mengungsi selama pertempuran, termasuk al-Zaytoun. Namun, banyak dari mereka yang kemudian memutuskan untuk kembali ke tanah mereka meskipun ancaman pemboman terus berlanjut.

Menjelang panen buah tin tahun ini, al-Zaytoun yang telah pulih dari amputasi kakinya memutuskan untuk kembali bekerja di lahan pertaniannya. Dia menanam di beberapa lahan pertanian di desa al-Bara di Jabal al-Zawiya, untuk mempersiapkan buah tin untuk panen.

"Salah satu kerabat saya memiliki tanah di mana saya menanam, tetapi terlalu takut untuk pergi ke sana karena berada di garis depan dengan pasukan rezim Assad. Saya harus mengerjakannya terlepas dari risikonya, karena kondisi hidup kami yang buruk dan agar saya bisa mencari nafkah," kata al-Zaytoun kepada Middle East Eye, dilansir Rabu (1/8).

Setelah panen, tanaman diletakkan di atap rumahnya hingga benar-benar kering karena terpapar sinar matahari. Buah tin tersebut kemudian dibawa ke pasar untuk dijual.

"Buah tin kering memiliki harga yang sangat tinggi sehingga kami hanya menjual buah tin setelah dikeringkan. Ini adalah satu-satunya sumber pendapatan kami untuk membantu kami mengamankan mata pencaharian kami untuk tahun depan. Harga per ton buah tin kering berkisar antara 2.000 dolar dan 2.500 dolar," ujarnya.

Dia mengungkapkan, dahulu mereka bisa panen melebihi 10 ton buah tin kering. Namun, pengeboman terus-menerus oleh pasukan rezim Assad dan operasi militer baru-baru ini yang diluncurkan di daerah tersebut telah mempersulit akses ke lahan pertanian untuk merawat pohon-pohon tin tersebut.

"Tahun ini panen kami tidak melebihi empat ton," katanya.

Para petani di pedesaan selatan Idlib menghadapi risiko besar saat menggarap tanah mereka, terutama dari artileri dan penembakan rudal oleh pasukan pemerintah Suriah. Di samping, bahaya yang ditimbulkan oleh perlengkapan perang yang tersisa dari serangan sebelumnya.

Menurut Pertahanan Sipil Suriah, dua petani tewas, termasuk seorang anak, dan empat lainnya terluka akibat ranjau darat, saat mereka memanen tanaman mereka pada Agustus 2020. Bagi mereka yang selamat, trauma itu bisa berdampak.

"Ketika saya kehilangan kaki saya, saya butuh lebih dari 11 bulan untuk move on dari kenyataan bahwa saya cacat. Rezim Assad terus-menerus berusaha mengepung kami dan menyelimuti kami dalam kelaparan dan kemiskinan. Tetapi saya mencintai hidup dan saya akan terus menjalani hidup saya seolah-olah saya tidak pernah kehilangan kaki saya," kata al-Zaytoun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement