IHRAM.CO.ID, NEW YORK – Serangan 9/11 atau Peristiwa Selasa Kelabu meninggalkan luka bagi masyarakat Amerika Serikat. Akibat insiden itu, diskriminasi dan serangan rasial menimpa Muslim Amerika. Anak muda Muslim Amerika tumbuh di bawah bayang-bayang 9/11.
Sebagian besar dari mereka harus menghadapi permusuhan, ketidakpercayaan, dan sejumlah pertanyaan terkait iman mereka. Oleh karena itu, mereka menemukan cara untuk melawan bias dan berbagai disinformasi mengenai Islam.
Ishaq Pathan (26 tahun) masih ingat betul ketika seorang anak laki-laki mengungkapkan kemarahan terhadapnya. Anak tersebut bertanya apakah Pathan akan meledakkan sekolah Connecticut mereka. Selain menerima sejumlah tuduhan, Pathan juga merasakan interogasi panjang saat ia baru kembali ke AS setelah kuliah di Maroko.
Petugas memeriksa barang-barangnya, termasuk laptop dan mulai membaca segelintir filenya. “Saya ingat bertanya apakah petugas harus membaca file di laptop saya. Petugas itu malah menjawab dia berhak melakukan apa pun. Setelah itu, saya menangis dan sama sekali tidak berdaya,” kata Pathan.
Sekarang Pathan bekerja sebagai direktur San Fransisco Bay Area untuk Islamic Networks Group di mana ia berharap dapat membantu generasi muda untuk tumbuh percaya diri dalam identitas Muslim mereka. Pathan melihat serangan 9/11 sebagai salah satu momen terpenting dalam hidupnya dan kehidupan masyarakat AS.
Dalam survei yang dilakukan oleh Pew Research Center tahun 2017 terhadap Muslim AS, hampir setengah responden mengatakan mereka mengalami setidaknya satu diskriminasi agama dalam setahun sebelumnya. Namun, 49 persen mengatakan seseorang menyatakan dukungan karena agama mereka.
Setelah serangan 9/11, beberapa Muslim Amerika memilih untuk menghilangkan kesalahpahaman tentang iman mereka dengan membangun hubungan pribadi. Mereka berbincang dengan orang asing saat mereka mengajukan segudang pertanyaan. Mulai dari bagaimana Islam memandang wanita dan Yesus hingga bagaimana memerangi ekstremisme.
Mansoor Shams (39 tahun) telah melakukan perjalanan melintasi AS. Dia selalu mengatakan bahwa dia merupakan Muslim dan Marinis AS serta tidak keberatan jika ada yang bertanya seputar Islam. Menurut dia, itu adalah bagian dari upaya untuk mengajarkan orang lain tentang keyakinannya dan melawan kebencian melalui dialog.
Shams yang bertugas di Marinir dari tahun 2000 hingga 2004 kerap dipanggil oleh beberapa rekan marinirnya dengan sebutan “Taliban,” “Teroris,” dan “Osama bin Laden.”
Salah satu interaksiknya yang paling berkesan saat ia berada di Universitas Liberty, Virginia. Di sana, Shams dan mahasiswa lembaga Kristen berbincang pada tahun 2019. Mahasiswa tersebut melontarkan sejumlah pertanyaan tentang Islam. “Lewat perbincangan itu, saya merasa ada rasa saling mencintai dan menghormati,” ujar dia.
Aktivis Yaman-Amerika yang tinggal di New York, Debbie Almontaser, menyebut serangan 9/11 membawa pembalasan dendam rasial yang berbeda. Banyak imgran Arab dan Asia Selatan yang datang ke AS untuk mewujudkan impiannya menjadi dokter, pengacara, dan pengusaha.
“Kemudian serangan 9/11 terjadi dan mereka menyadari bahwa mereka berwarna coklat dan mereka adalah minoritas. Itu adalah peringatan yang besar,” kata Almontaser.
Beberapa ketegangan rasial terjadi hari ini di komunitas Muslim AS. Protes keadilan rasial yang dipicu oleh pembunuhan George Floyd, misalnya membawa banyak Muslim turun ke jalan untuk mengutuk rasisme. Akan tetapi mereka juga mendorong perwujudan kesetaraan ras di antara umat Islam, termasuk perlakuan terhadap Muslim kulit hitam.
Bagi Imam Muslim American Culturan Center di Nashville, Ali Aqeel, sebagai Muslim Afrika-Amerika, perjuangan dia masih dengan ras dan identitas.
“Ketika kami pergi ke pusat Islam, kami harus menghadapi rasa sakit yang sama seperti yang kami alami di dunia. Itu membuat kami putus asa karena kami mendapat kesan dalam Islam, Anda tidak memiliki perbedaan ras dan etnis,” tuturnya.