IHRAM.CO.ID, MAKKAH -- Orang-orang Kepulauan Farasan, di Laut Merah, biasa menjelajahi lautan untuk mencari mutiara. Mereka akan menyelam lebih dari 30 meter, menahan napas selama lebih dari lima menit untuk menemukan kepingan harta karun yang masing-masing bisa berharga hingga 150.000 riyal Saudi.
Selama beberapa generasi, mutiara adalah industri yang berkembang pesat bagi penduduk di wilayah Timur Semenanjung Arab, dimana banyak sejarawan percaya kejayaannya terjadi setidaknya selama empat abad. Pedagang dari India akan melakukan perjalanan ke Teluk Arab untuk mencari mutiara yang paling murni.
Saat ini, Kerajaan Saudi melakukan pendekatan baru untuk menemukan kembali warisan dan menghidupkan kembali tradisinya, memberikan pencerahan baru bagi para penyelam mutiara Farasan.
Dilansir di Arab News, Rabu (22/9), selama beberapa generasi, keluarga yang tinggal di pulau-pulau lepas pantai barat daya Saudi akan mengucapkan selamat tinggal kepada kaum laki-laki mereka. Laki-laki akan berlayar selama berbulan-bulan untuk mencari mutiara.
Industri mutiara sempat membentuk identitas mereka, tetapi hari ini perdagangan mereka sedang sekarat. Usaha yang dulunya melibatkan masyarakat luas, mulai dari pedagang mutiara dan penyelam hingga kapten kapal, serta pedagang kayu pembuat kapal, telah menjadi sesuatu dari masa lalu.
Spesialis Suleiman Balaous menjelaskan, Farasan pernah menjadi sumber utama mutiara di wilayah tersebut. Satu-satunya cara untuk memoles mutiara secara alami atau mengembalikan kilaunya adalah dengan mengumpulkan air hujan di piring besar dan mencucinya di dalam wadah tersebut.
"Setelahnya, mutiara akan mendapatkan kembali kilau aslinya dan bersinar dengan cara yang sangat indah," kata dia.
Mutiara terbentuk ketika moluska bereaksi terhadap iritasi atau 'serangan' di dalam cangkang. Kerang akan membentuk kantung di sekitar zat asing untuk menutupinya, yang seiring waktu menjadi mutiara.
Mutiara memiliki nama yang berbeda, sesuai dengan ukurannya. Ukuran terkecil atau sedikit lebih besar dari sebutir pasir, disebut “Dakkah”, satu ukuran di atasnya disebut “Ansar”, berlanjut “Al-Mazouri” dan “Al-Tala”, serta mutiara terbesar disebut “Danas”. Danas diberi harga mulai dari 1.000 riyal hingga 150.000 riyal Saudi.
Salah satu pedagang mutiara Farasan, Mohammed Hadi, mengatakan pada zaman kuno perburuan mutiara dimulai ketika para penyelam mencari tiram atau “bulbul”, seperti yang dikenal secara lokal.
Sesuai dengan cara tradisional untuk menentukan kualitas mutiara, Hadi menggunakan saringan tembaga untuk memisahkan mutiara besar, sedang dan kecil. Ia juga memiliki timbangan yang terbuat dari batu permata, batu akik Yaman, untuk menentukan berat mutiara.
Seorang penulis yang mengkhususkan diri pada mutiara, Ibrahim Moftah, mengatakan pentingnya berburu mutiara di komunitas Farasan berasal dari fakta kedewasaan seorang penyelam diukur dari kemahirannya.
Kurangnya tangki oksigen dan alat selam modern, serta menghadapi predator laut, membuat profesi ini menjadi jauh lebih sulit. Hanya penyelam terkuat dan paling mahir yang akan menyelam tanpa menggunakan penjepit hidung, sekaligus menjadi usaha yang berbahaya.
Seiring waktu, perdagangan mutiara yang dibudidayakan, dengan harga lebih murah dan tanpa cacat yang diproduksi oleh negara-negara seperti Jepang, menyebabkan industri mutiara mati di kedua Provinsi Timur. Industri minyak lantas menjadi industri yang berkembang pesat di Kerajaan.
Menyelam untuk mengambil mutiara masih dianggap sebagai salah satu tradisi paling berharga di Kerajaan. Hal ini berkontribusi pada koneksi transregional Teluk yang membawa kekayaan dari generasi ke generasi.
Meskipun mutiara yang sempurna mungkin tidak akan pernah ditemukan, keajaiban penciptaannya tetap menjadi salah satu tradisi yang paling menarik di zaman modern saat ini.