IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Haji dan Umroh (Gaphura) Baluki Ahmad meminta pemerintah melalui Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) melakukan transparansi besaran bagi hasil pengelolaan dana haji. Ia pun menegaskan, dalam pelaksanaan haji ini tidak ada istilah subsidi haji.
"Karena memang tidak ada subsidi, uang yang diberikan itu dari jamaah juga. Memang faktor keadilan itu tidak terwujud secara nyata. Orang yang sudah menunggu untuk berangkat haji selama 20 tahun dengan yang antri misal 5 tahun, mendapat besaran bagi hasil yang sama," kata dia saat dihubungi Republika, Selasa (2/11).
Ia menyebut, seharusnya ada perbedaan antara calon jamaah yang sudah lama menabung dengan yang baru hitungan tahun, berdasarkan hitungan daftar tunggu mereka.
Istilah subsidi haji juga dinilai tidak tepat digunakan. Hal ini mengingat dana yang digunakan untuk menutup kekurangan biaya merupakan hasil pengelolaan dana haji milik jamaah yang disetorkan di awal.
Terkait wacana akan dihapuskannya skema subsidi haji ini, ia merasa tidak ada masalah. Namun, jamaah diminta tidak dibebani uang setoran dengan jumlah besar dan jangka waktu yang lama tanpa ada bagi hasil.
"Kalau memang diputuskan jamaah tidak menerima bagi hasil, saya tidak sepakat kalau besaran setorannya masih besar karena itu uang jamaah sendiri," lanjutnya.
Di sisi lain, jika jamaah diminta membayar penuh biaya haji yang mencapai Rp 75 juta, uang yang tersimpan selama ini dan dikelola harus dilaporkan transparansinya.
Baluki Ahmad pun meminta pemerintah memberikan perhatian pada calon jamaah yang sudah mendaftar dan menyerahkan uang setoran Rp 25juta agar mendapatkan kuota. Mereka yang sudah masuk namanya ini harus diurus dengan baik, dimana jumlahnya sangat banyak.
Sebelum nantinya dilakukan penghapusan subsidi haji, ia meminta agar hasil pengelolaan uang setoran awal ini agar dikembalikan ke jamaah melalui akun virtual (virtual account) yang mereka miliki. Nilainya sebanding dengan berapa lama uang itu dikelola.
"Saya sepakat kalau masyarakat pada akhirnya harus memiliki kemampuan yang real, berangkat haji sesuai kemampuannya, misal senilai Rp 75 juta. Tapi, bagaimana dengan dana yang sudah dibayar itu?" ujar dia.
Transparansi nominal pengelolaan dana haji ini sendiri disebut telah berkali-kali dijanjikan oleh pemerintah. Namun, hingga saat ini masih belum terlihat realisasinya.
Berkaca pada Tabung Haji yang dimiliki Malaysia, jamaah yang akan berangkat hanya menambahkan sesuai dengan perputaran uang mereka. Sementara di Indonesia penambahan biaya yang harus dibayar oleh masyarakat dihitung sama rata.