IHRAM.CO.ID, CANBERRA -- Komunitas Muslim di Prancis menghadapi serangkaian pembatasan dari Pemerintah, termasuk perihal penggunaan jilbab. Hal ini juga yang dikhawatirkan oleh muslim Australia.
"Prancis hampir tidak sendirian dalam pendekatan anomalinya terhadap pakaian Muslim. Pandangan yang sama ini, dan kontradiksi yang menyertainya, juga ada di Australia," kata Research Associate di Australian Muslim Advocacy Network (AMAN), Maryam Hashimi, dilansir dari laman ABC pada Kamis (4/11).
Dalam sebuah studi baru-baru ini menemukan bahwa sepertiga (33,7 persen) dari mereka yang disurvei setuju bahwa perempuan tidak boleh memakai jilbab di Australia. Angka tersebut naik menjadi hampir setengahnya (48,9 persen) ketika ditanya tentang mengenakan niqab atau burqa.
Hashimi mengatakan, AMAN telah berhasil dalam tindakan hukumnya terhadap mantan Senator Fraser Anning. Namun itu tidak berarti bahwa umat Islam dapat diyakinkan akan perlindungan hukum penuh terhadap aktor politik yang buruk di masa depan.
Adapun Presiden Prancis Emmanuel Macron mengumumkan Rancangan Undang-Undang (RUU) kontroversial Oktober lalu. Hal ini dilakukan dalam upaya untuk melawan bahaya dari sesuatu yang dia sebut 'separatisme Islam',
Dalam pidatonya, Macron menstigmatisasi penganut agama Islam, saat dia mengungkapkan ketakutannya bahwa minoritas dari sekitar enam juta Muslim Prancis mengancam akan membentuk masyarakat tandingan. RUU itu diperdebatkan bolak-balik antara majelis rendah Prancis, Majelis Nasional, dan Senat, dan akhirnya disahkan dengan selisih 49 suara berbanding 19. Otoritas konstitusional tertinggi Prancis juga menyetujui RUU tersebut, menjatuhkan hanya dua pasalnya.