Sabtu 06 Nov 2021 22:20 WIB

Nilai-Nilai Prancis dan Islamofobia

Prancis mengecam kampanye keragaman dengan menyertakan sosok berjilbab.

Rep: Mabruroh, Alkhaledi Kurnialam, Meiliza Laveda/ Red: Agung Sasongko
Muslim Prancis

Survei

Pada Juli lalu, Komisi Konsultasi Nasional Hak Asasi Manusia Prancis (CNCDH) merilis laporan tahunan ke-30 tentang perang melawan rasisme, anti-semit, dan xenofobia. Berdasarkan laporan, terlihat adanya peningkatan dalam aksi anti-Muslim tahun lalu di tengah karantina wilayah selama pandemi. Selain itu, tingkat toleransi terlihat lebih rendah terhadap komunitas Muslim terus berlangsung.

Tahun lalu, Direktorat Jenderal Keamanan Dalam Negeri (SCRT) mencatat tindakan dan ancaman terkait rasialisme, anti-semit, dan Islamofobia sebanyak 1.461 insiden. Dalam tahun 2019, tindakan anti-Muslim terjadi paling sering, 52 persen atau hampir 234 insiden.

Pada 2020 akhir terlihat banyaknya insiden yang ditargetkan masyarakat, seperti serangan di kantor Charlie Hebdo pada September, pembunuhan guru sekolah Samuel Patty, dan serangan di Gereja Katedral Nice.

Sebagai perbandingan, tindakan anti-semit dan rasis lainnya mengalami penurunan masing-masing sebesar 51 persen (339 tindakan) dan 22 persen (888 tindakan). Laporan tersebut mencatat secara keseluruhan ada tingkat toleransi yang tinggi di antara orang-orang Prancis terhadap kelompok minoritas. Indeks toleransi pada skala 0 hingga 100 yang memberikan gambaran tentang perubahan tahunan dalam pendapat dan perasaan responden terhadap minoritas.

Hasilnya, 79 poin untuk orang kulit hitam dan Yahudi, 72 poin untuk orang Afrika Utara, 60 poin untuk Muslim, dan 36 untuk Roma.

Dilansir Anadolu Agency, Sabtu (10/7), prasangka tertentu terhadap orang Yahudi, kulit hitam, Muslim, Roma, dan orang-orang imigran juga terus bertahan meskipun pada tingkat yang lebih rendah daripada tahun 2019. Sebuah survei daring yang dilakukan pada Maret 2021 mengonfirmasi 59 persen responden dibandingkan dengan 62 persen pada 2019 percaya Islam adalah ancaman bagi identitas Prancis.

Sementara 45 persen berpikir Yahudi memiliki hubungan khusus dengan uang, 72 orang menyebut banyak imigran datang ke Prancis hanya untuk memanfaatkan perlindungan sosial, 33 persen percaya anak-anak imigran yang lahir di Prancis sebenarnya bukan orang Prancis, dan 58 persen responden berpikir orang Roma hidup terutama dari hasil pencurian dan perdagangan manusia.

Dalam kesimpulannya, CNCDH menyoroti fenomena rasialisme di Prancis sebagian besar tidak dilaporkan dan sering diwujudkan dalam bentuk penolakan halus yang terkadang sulit dicirikan sebagai ancaman. Mereka juga mengimbau pihak berwenang dan masyarakat untuk terus memerangi tindakan rasialisme.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement