IHRAM.CO.ID, PARIS -- Pemilihan presiden baru Prancis semakin dekat. Atas alasan ini, pemerintah Prancis berupaya mencari cara untuk menarik pemilih sayap kanan.
Menteri Dalam Negeri sayap kanan Prancis, Gerald Darmanin, telah mengumumkan ia akan mengorganisir sebuah "forum Islam di Prancis" awal tahun depan. Hal ini dilakukan dalam upaya mengerahkan apa yang dilihat sebagian orang, sebagai pengaruh atas bagaimana umat Islam mempraktikkan keyakinan mereka.
Pemerintah Prancis akan memilih antara 80-100 individu yang diajukan sebagai pemimpin agama, imam dan anggota masyarakat sipil. Namun yang lebih penting, pemerintah seolah menekankan narasi negara bahwa Muslim dan Islam memiliki masalah di negara itu.
Pada 2020, Presiden Prancis Emmanuel Macron menekan Dewan Ibadah Muslim Prancis (CFCM) untuk menandatangani piagam "Nilai-nilai Republik", dalam sebuah langkah yang mengesampingkan populasi Muslim terbesar di Eropa, sebanyak 5,4 juta jiwa.
Pada awal tahun ini, pemerintah Macron mendorong “Piagam Imam”, seperangkat prinsip yang akan mendefinisikan Islam Prancis. Kedua inisiatif tersebut gagal karena dianggap kurang memiliki legitimasi.
Dilansir di TRT World, Rabu (15/12), inisiatif kedua itu yang rencananya akan diadakan pada Februari tahun depan, mengakui kegagalannya. Pemerintah Macron lantas saat ini berupaya mencari pendekatan baru.
"Kami memiliki sesuatu yang sangat formal, yang bekerja di sekitar Dewan Ibadah Muslim Prancis (CFCM)," kata pemerintah setelah pengumuman inisiatif tersebut. Namun, CFCM telah lumpuh total selama setahun.
Didirikan pada 2003 oleh Menteri Dalam Negeri Prancis saat itu, Nicholas Sarkozy, CFCM sejak awal telah menjadi badan yang kontroversial tanpa kedudukan hukum. Namun, lembaga ini bertindak sebagai saluran antara negara Prancis dan penduduk Muslimnya.
Adapun "Piagam Imam" yang kontroversial, berusaha mengontrol apa yang dapat dibicarakan masjid dalam khotbah mereka. Utamanya, jika mereka membahas seputar Islamofobia atau rasisme negara, yang dibantah oleh pemerintah Prancis sebagai masalah. Pidato di masjid yang dinilai bermusuhan dengan kebijakan luar negeri Prancis juga akan dilarang.
Beberapa organisasi Muslim mengutuk upaya negara-negara Prancis untuk menginstrumentalisasi Islam setelah pengumuman itu.
The Great Mosque of Paris, sebuah badan yang dekat dengan pemerintahan Macron, memilih berpisah dari CFCM setelah menolak untuk mengadopsi Piagam Imam negara bagian dan mendukung inisiatif terbaru oleh Darmanin.
Awal tahun ini, Darmanin menyatakan ketidaksenangannya karena tidak dapat menutup lebih banyak masjid di negara itu.
Selama setahun terakhir, Macron telah menutup 17 masjid. Mereka dinilai melanggar "undang-undang keamanan" yang tidak jelas, atau tidak memiliki "standar keamanan" yang tepat. Sebanyak 89 masjid tambahan juga berada di bawah pengawasan.
Isu seputar identitas dan Islam diprediksi akan menjadi sorotan dalam pemilu tahun depan. Muncul kekhawatiran yang berkembang di antara masyarakat sipil Prancis, organisasi hak asasi manusia internasional, maupun Muslim lokal.
Mereka khawatir pemerintah Macron, secara tidak proporsional, menargetkan Muslim dalam upaya untuk menjilat pemilih sayap kanan seiring waktu pemilihan presiden yang akan berlangsung satu tahun lagi.
Munculnya tokoh-tokoh seperti kandidat presiden sayap kanan Eric Zemmour, seolah semakin mempolarisasi panggung politik Prancis.
Kenaikan pesat pamor Zemmour, seorang penulis sayap kanan dan pakar TV, lompat ke posisi keempat dalam sebuah jajak pendapat dengan 13 persen suara. Pemilihan kali ini disebut akan menjadi pemilihan presiden yang sangat kontroversial.
Pandangan Zemmour tentang Islam yang tidak sesuai dengan Prancis dan cara hidup Prancis, telah bergema di publik Prancis.
Kandidat presiden sayap kanan lainnya, Marine Le Pen, dan Zemmour memberikan suara 30 persen, melawan 24 persen suara milik Macron.