Rabu 22 Dec 2021 17:43 WIB

Representasi Muslim dalam Film di Seluruh Dunia

Beberapa strereotip tentang Muslim terus berulang

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Esthi Maharani
Industri perfilman (ilustrasi).
Foto:

Beberapa interpretasi negatif juga datang dari penulis Muslim sendiri. Hanif Kureishi, yang menulis My Beautiful Launderette dirilis pada 1985, dan merupakan teman Rushdie, menempatkan Omar bikultural, gay kelahiran Inggris dengan ayah Pakistan sebagai protagonis skenario.

Film-film lain seperti East is East, pasca-Rushdie dan sebelum 9/11, juga secara khusus mengeksplorasi keprihatinan Muslim untuk pertama kalinya daripada isu-isu Asia Selatan.

"Ketika pembuat film Muslim mampu mewakili diri mereka sendiri, itu membuka spektrum narasi. Namun, beberapa cara dalam menggambarkan Islam tidak semuanya diterima oleh audiens Muslim. Ini adalah dilema. Cerita Muslim yang lebih bervariasi memperluas bagaimana Muslim dilihat oleh khalayak luas, tetapi juga memperkenalkan refleksi diri dan kritik terhadap pengalaman sendiri menjadi Muslim," ujar Petersen.

Agar pembuatan film menjadi otentik, ia menyebut harus mampu mengekspresikan kehidupan yang unik sambil merasa bebas untuk mengkritik masalah di komunitas mereka. Dan pada akhirnya, hal ini mungkin bukan representasi yang dicari oleh banyak penonton Muslim.

Dalam Subverting Stereotypes through a Saudi Film: Wadjda, Gender, and Islam, oleh Elliott Bazzano, penulis merefleksikan bagaimana film yang merupakan anomali di negara konservatif ini menantang stereotip berbahaya terhadap Muslim dan Arab. Hal itu dilakukan sambil mengakui dinamika gender yang kompleks yang dapat merugikan perempuan.

Satu pengamatan yang menarik adalah, bagaimana emosi dapat membuat pertahanan akan stereotip yang berbahaya dan berkaitan dengan banyak lapisan karakter menjadi sulit. Hal ini mengacu pada satu atau lebih adegan 'lembut' yang terjadi antara Wadjda dan ibunya.

Film ini juga digambarkan sebagai "subversif". Misalnya, dengan bergerak melampaui visual perempuan sebagai karakter penurut bercadar di masyarakat luar, untuk menggambarkan kepribadian mereka yang bersemangat di dalam rumah.

"Budaya populer mengungkapkan bagaimana komunitas dinarasikan dan disajikan kepada audiens publik, tetapi juga bagaimana komunitas membayangkan diri mereka sendiri," kata Petersen.

Karena itu, ia merasa sangat penting untuk memeriksa peredaran gambar arus utama mengingat hal ini memiliki efek sosial yang nyata. Tapi, tidak bisa dilupakan juga untuk mempertimbangkan bagaimana kreatifitas Muslim ingin menampilkan diri dan mengungkapkan spektrum cerita yang bisa diceritakan.

Esai dengan volume 20-bab ini juga mencerminkan keragaman 1,8 miliar Muslim di dunia. Keragaman ini terbentang dari realitas menjadi seorang wanita Muslim di Filipina dan bagaimana pembuat film Muslim melawan stereotip di wilayah ini, hingga silsilah sinematik tokoh Malcolm X dan Muhammad Ali, dua dari Muslim Amerika yang paling terdokumentasi dengan baik dalam film.

Antologi ini hanyalah setetes air di lautan, yang Petersen harap dapat kembangkan dalam karya-karya selanjutnya, termasuk Cinematic Life of Muslims yang akan datang:

"Ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan tentang bagaimana interpretasi Islam membentuk narasi, pembuat film, dan penonton di masyarakat mayoritas Muslim," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement