IHRAM.CO.ID, JAKARTA – Di kalangan santri di pesantren salafiyah, pembacaan kitab kuning dengan langgam irama khas lokal telah terbiasa. Namun pembacaan Alquran dengan langgam selain Arab hampir tidak pernah terdengar.
Hal ini dikarenakan pembacaan Alquran pun mempunyai geneologi keguruan yang tidak sedikit. Di Kudus Jawa Tengah, banyak pesantren tahfidz Alquran yang mengharamkan langgam apapun dalam membaca Alquran.
Buya Hasyim Arrazy dalam buku Cermat dalam Memahami Hadis menjelaskan bahwa biasanya teks hadis yang dijadikan pegangan dalam dalih tersebut adalah sebagai berikut, “Iqra-uul-Qurana biluhunil-arabi wa ashwatiga wa iyyakum wa lahuna ahlil-kitbaini wa ahlil-fisqi fa-innahu sayaji-u ba’di qaumun yurajji’una bil-qurani tarji’al-ghinaa-I warrahbaniyyah wanauhi laa yujawizu hanaajirahum maftunatan qulubuhum wa qulubu man yu’jibuhum sya’nuhum,”.
Yang artinya, “Bacalah Alquran dengan lagu dan suara orang Arab. Jauhilah lagu atau langgam Ahlul Kitab dan orang-orang yang fasik. Nanti akan datang setelahku orang membaca Alquran seperti menyanyi dan melenguh. Alquran tidak melampaui tenggorokan mereka, hati mereka tertimpa fitnah, juga hati orang yang mengaguminya,”.
Buya Arrazy berpendapat, pengharaman tilawah dengan hadis diatas tidaklah tepat. Sebab Imam At-Tirmidzi, Imam Malik, dan juga An-Nasa’i tidak pernah meriwayatkannya dalam kitab-kitab mereka. Hadis tersebut adalah riwayat At-Thabrani dan Al-Baihaqi dengan sanad yang sangat lemah.
Dijelaskan pula bahwa kemakruhan atau keharaman membaca Alquran dengan irama lokal sudah jelas bagi ahli fikih dan tajwid Alquran meskipun tidak ada hadis di atas. Ini dikarenakan langgam lokal sering mengakibatkan takalluf (pemaksaan) dan bahayanya lagi jika keluar dari kaidah tajwid.
Minimal tilawah tersebut berhukum makruh karena takalluf dan dapat menjadi haram jika melanggar kaidah tajwid. Sedangkan pengharaman dan penghalalan sesuatu harus berdasarkan dalil yang shahih.