Lebih lanjut, Nirwan mengemukakan, setidaknya ada tiga hal mengapa menimbun barang itu tidak dibenarkan dalam Islam. Pertama, karena mengganggu kebutuhan masyarakat umum. Kedua, mengganggu keselamatan masyarakat secara umum karena keselamatan masyarakat menjadi prioritas dalam Islam. Ketiga, kalau barang itu menyangkut kebutuhan pokok masyarakat, maka tidak dibenarkan menimbunnya.
"Tetapi kalau kita timbun dan tidak ada masalah di tengah masyarakat, yang ukurannya adalah respons pasar atau masyarakat, maka tidak masalah dalam konteks itu. Misalnya menyimpan emas, yang tentunya ada zakat yang harus dibayarkan jadinya," paparnya.
Lalu contoh penimbunan barang seperti apa yang dibolehkan dalam Islam? Nirwan mencontohkan kehidupan warga di pedesaan yang umumnya menyimpan gabah hasil panen. Dia menjelaskan, para warga tersebut menyimpan gabahnya sesuai kebutuhannya dan tidak berniat menjual dengan harga tinggi saat barang menjadi langka.
"Karena ada bagian yang dijual agar uangnya itu kembali kepada dia atau jadi modal lagi. Jadi yang dilakukan mereka itu manajemen ekonomi untuk rumah tangganya. Tidak ada niat menyimpan barang untuk kemudian melambungkan harga ketika masyarakat membutuhkannya. Nah ini dibenarkan," ucapnya.
Hal itu, papar Nirwan, sama seperti yang dilakukan Nabi Yusuf AS yang memerintahkan supaya para petani dan negara saat itu menyimpan gandum atau hasil panennya, sehingga pada masa paceklik masih terdapat simpanan. Simpanan inilah yang digunakan untuk menutupi masa paceklik supaya masyarakat Mesir saat itu tidak mengalami kesulitan.