IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Muhammad Aqil Irham menyampaikan, ada berbagai langkah konkret yang dilakukan untuk mencapai target 10 juta produk bersertifikat halal pada tahun ini. Langkah tersebut telah dimulai sejak Januari lalu.
Aqil menjelaskan, di antara langkah yang dilakukan, yaitu melakukan rekrutmen lembaga pendampingan Proses Produk Halal (PPH). Lembaga ini terdiri dari Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) seluruh Indonesia, Perguruan Tinggi negeri dan swasta, organisasi sosial keagamaan, dan lembaga keagamaan Islam seperti pondok pesantren.
"Semua itu sebagian besar sudah teregistrasi dan sebagian lagi dalam proses teregistrasi di BPJPH," kata dia dalam Rakernas BPJPH 2022 bertajuk "Akselerasi Transformasi Layanan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal" yang ditayangkan secara virtual, Ahad (28/3/2022).
Aqil juga mengatakan, kini telah ada 200 lembaga pendampingan PPH dan 710 trainer pendamping PPH serta 2.210 pendamping PPH. Sebanyak 200 lembaga tersebut telah menjadwalkan untuk mengadakan pelatihan pendamping PPH kepada 64 ribu orang. Targetnya adalah 100 ribu pendamping PPH yang disiapkan BPJPH. "Insya Allah itu akan kita kejar terus sampai dengan April," kata dia.
Sebanyak 100 ribu pendamping PPH, lanjut Aqil, akan turun ke lapangan mendampingi pelaku usaha. Setiap pendamping mengemban tugas yang targetnya mewujudkan 100 produk yang tersertifikasi halal. "Dengan 100 produk bersertifikat halal, dikali 100 ribu pendamping PPH, maka target 10 juta produk bersertifikat halal pada akhir tahun ini akan tercapai," kata Aqil.
Dia juga memaparkan, dari 2012 hingga 2018, ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi otoritas tunggal dalam sertifikasi halal, jumlah produk yang tersertifikasi halal sebanyak 668.615. Lalu saat beralih ke BPJPH, dimulai sejak 17 Oktober 2019 hingga 25 Maret 2022, ada 313 ribu produk yang telah tersertifikasi halal. Berdasarkan tren data tersebut, progres tahunan sertifikasi halal yang dicapai MUI dan BPJPH berarti mencapai 100 ribu per tahun.
"Kalau pasang target 10 juta produk bersertifikat halal dengan mengikuti pola ini, maka kita butuh 100 tahun untuk mencapai 10 juta produk itu. Inilah yang menjadi problem ketertinggalan kita dengan negara-negara lain," jelasnya.
Untuk itu, Aqil menyampaikan, BPJPH menyusun rencana, strategi dan program kegiatan. Hal ini dengan mempertimbangkan aspek anggaran, baik yang bersumber dari BPJPH maupun anggaran dari kementerian maupun lembaga. BPJPH juga memulai langkahnya dari rapat koordinasi dengan kementerian maupun lembaga. Ada lebih dari 12 kementerian maupun lembaga terlibat secara intensif membahas redefinisi nol rupiah untuk sertifikasi halal produk UMK.
Sebab, Aqil mengatakan, kementerian maupun lembaga, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah selama dua tahun terakhir mengalokasikan anggaran biaya sertifikasi halal dengan tarif Rp 3 juta hingga Rp 4 juta per produk. Menurutnya, tentu ini membebani keuangan negara dan membuat pelaku UMK enggan mengikuti sertifikasi halal.
"Maka per 1 Desember 2021, kami mengeluarkan keputusan tarif layanan dan tata cara pembayaran tarif layanan jasa sertifikasi halal. Salah satunya, diputuskan bahwa biaya sertifikasi untuk UMK diturunkan menjadi Rp 300 ribu," katanya.
Keputusan tersebut, terang Aqil, disambut baik oleh kementerian maupun lembaga dan juga pemerintah daerah melalui dinas-dinasnya. Sebab, mereka bisa mengalokasikan anggaran dengan jumlah produk halal yang lebih banyak dari sebelumnya. Dengan demikian, ini akan mampu menjangkau lebih luas UMK di seluruh wilayah Indonesia.
"Atas dasar itu, kami memberanikan diri mencanangkan gerakan 10 juta produk bersertifikat halal. Dengan biaya Rp 300 ribu itu, kita alokasikan anggaran Rp 3 triliun yang digotong bersama-sama oleh Kemenag, kementerian maupun lembaga, 34 provinsi dan 514 kabupaten kota se-Indonesia," ucapnya.