IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Dikutip dari buku Fikih Bulan Syawal oleh Muhammad Abduh Tuasikal, Nikmat apakah yang disyukuri? Yaitu nikmat ampunan dosa yang begitu banyak di bulan Ramadhan. Bukankah kita telah ketahui bahwa melalui amalan puasa dan shalat malam selama sebulan penuh adalah sebab datangnya ampunan Allah, begitu pula dengan amalan menghidupkan malam lailatul qadr di akhir-akhir bulan Ramadhan.
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Tidak ada nikmat yang lebih besar dari anugerah pengampunan dosa dari Allah.” (Lathaif Al-Ma’arif).
Sampai-sampai Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam pun yang telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan akan datang banyak melakukan shalat malam. Ini semua beliau lakukan dalam rangka bersyukur atas nikmat pengampunan dosa yang Allah berikan.
‘Aisyah mengatakan, “Kenapa engkau melakukan seperti ini wahai Rasulullah, padahal Allah telah mengampuni
dosa-dosamu yang lalu dan akan datang?”. Beliau lantas mengatakan,
“Tidakkah pantas aku menjadi hamba yang bersyukur?” (HR. Bukhari, no. 4837).
Begitu pula di antara bentuk syukur karena banyaknya ampunan di bulan Ramadhan, di penghujung Ramadhan (di hari Idulfitri), kita dianjurkan untuk banyak berdzikir dengan mengagungkan Allah melalu bacaan takbir ”Allahu Akbar”. Ini juga di antara bentuk syukur sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengangungkan pada Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185).
Begitu pula para salaf seringkali melakukan puasa di siang hari setelah di waktu malam mereka diberi taufik oleh Allah untuk melaksanakan shalat tahajud. Inilah bentuk syukur mereka.
Ingatlah bahwa rasa syukur haruslah diwujudkan setiap saat dan bukan hanya sekali saja ketika mendapatkan nikmat. Namun, setelah mendapatkan satu nikmat kita butuh pada bentuk syukur yang selanjutnya.
Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah menjelaskan, “Setiap nikmat Allah berupa nikmat agama maupun nikmat dunia pada seorang hamba, semua itu patutlah disyukuri. Kemudian taufik untuk bersyukur tersebut juga adalah suatu nikmat yang juga patut disyukuri dengan bentuk syukur yang kedua. Kemudian taufik dari bentuk syukur yang kedua adalah suatu nikmat yang juga patut disyukuri dengan syukur lainnya. Jadi, rasa syukur akan terus ada sehingga seorang hamba merasa tidak mampu untuk mensyukuri setiap nikmat.
Ingatlah, syukur yang sebenarnya adalah apabila seseorang mengetahui bahwa dirinya tidak mampu untuk bersyukur (secara sempurna).” (Lathaif Al-Ma’arif).