Jumat 02 Sep 2022 18:00 WIB

Adillah Seperti Umar bin Khattab

Dikisahkan ada seorang Yahudi yang menuntut keadilan kepada Umar bin Khattab.

Ilustrasi Sahabat Nabi
Foto: MgIt03
Ilustrasi Sahabat Nabi

IHRAM.CO.ID, Dikisahkan, pada zaman Khalifah Umar bin Khattab RA, ada seorang Yahudi miskin menuntut keadilan yang mengharuskannya meninggalkan rumahnya di Mesir menuju Madinah, tempat Khalifah Umar bin Khattab tinggal dan berkantor.

" Tuan, saya hanyalah seorang Yahudi miskin. Keluarga kami teraniaya oleh orang-orang Amru bin Ash. Mereka diperintah untuk membongkar rumah kami yang letaknya berdekatan dengan istana megah gubernur, hanya dengan alasan untuk perluasan. Kami ingin mencari keadilan dari Umar bin Khattab, khalifah kalian," kata Yahudi itu, kepada seorang kakek yang sedang bersandar di bawah pohon kurma, sambil bertanya letak istana Khalifah.

Baca Juga

"Selamat datang di kota kami, tuan," kata kakek itu, seraya mempersilakan mencicipi kurma dan teguk air, dari cangkir perunggu, terkesan tidak pedulikan keluh tamunya. "Semua orang di kota ini, pasti kenal Umar, dan tahu letak dan bentuk istanya, sebatang pohon kurma, dekat masjid," ujar kakek itu sambil terus mengumbar keramahan.

"Tolong tuan, saya ingin mencari keadilan dari pimpinan kalian, walau agaknya semua orang rahasiakan letak istana beliau. Anda sudah lanjut usia dan tampak bijak, tentu tahu persis di mana letak istana, tempat beliau mengendalikan pemerintahan yang wilayahnya teramat luas. Tentu istana beliau sudah tampak kemilau dari kejauhan; tapi semua orang hanya memberi teka-teki: sebatang pohon kurma, dekat masjid,"  ujar Si Yahudi.

Kakek itu menghela napas, kemudian berkata, "Tidaklah salah yang dikatakan semua orang, dan benarlah adanya yang ku katakan barusan bahwa Umar bersama para sahabatnya, bekerja di bawah pohon kurma. Dan itulah istananya!"

"Demi Tuhan, masjid satu-satunya sudah di depan mata, dan kita berada di bawah pohon kurma. Masihkah akan Anda rahasiakan letak istana Umar bin Khattab. Tuan, kalau istananya saja sulit dicari, apatah lagi menemui penghuninya?" kata Si Yahudi bernada kecewa dan mulai putus asa.

"Bukankah sudah kukatakan bahwa Anda tidak akan temui istana al-Khattab. Ini bukan rahasia, karena memang Umar tidak pernah membangun sesuatu yang tidak dibangun oleh kekasih Allah, junjungannya, teladannya, yang sekaligus adalah menantunya sendiri, Muhammad SAW. Tempat kita duduk sekarang, inilah istananya, tempat al-Khattab meminta dan diminta umat untuk selesaikan berbagai urusan umat."

"Demi Tuhan, Anda jujur dan terbuka, meski tetap merahasiakan letak istana Umar yang sesungguhnya. Saya berterima kasih atas jamuan sederhana ini, dan sampaikan keluhan saya, seorang Yahudi miskin, kepada pimpinan kalian, bahwa Umar yang menurut banyak orang adalah sosok lelaki pemberani, adil, tegas, dan bijaksana, ternyata dia hanyalah seorang pengecut yang tidak berani menampakkan batang hidungnya menghadapi persoalan kami. Wajar saja jika gubernurnya di Mesir teramat congkak dan angkuh. Tuan, Anda mungkin hanyalah kacung Umar; atau salah seorang miskin kota ini yang belum terladeni. Tetapi keramahan Anda menjamu dan memberi sepotong tulang ini, jauh lebih berharga, daripada mencari dan menunggu majikanmu," kata Si Yahudi yang teramat berang, karena dianggapnya gagal menemui Umar bin Khattab.

Sementara lelaki tua itu hanya tersenyum, setelah memberi sepotong tulang unta yang digores lurus oleh pisau yang tergeletak di dekatnya. "Saya pamit, tuan. Tapi maaf, nama Anda siapa ya?" kata Si Yahudi sambil beringsut. "Nama saya, untuk apa? Saya hanyalah lelaki tua pengecut, yang tidak berani menampakkan batang hidung, karena tidak pernah bangun istana semegah Amru bin Ash di Mesir. Namun, goresan mata pisauku akan mengoyak istana dan seluruh pejabat, yang mengusik rumahmu, teman. Akulah orang yang Anda cari," kata pak tua itu, yang ternyata adalah Umar Ibnul Khattab, amirul mukminin, khalifah yang wilayah kekuasaannya menyentuh tanah Piramida, Mesir.

Mendengar ucapan itu, seluruh tubuh Si Yahudi bergetar hingga terduduk lemas, karena heran tapi nyata, bahwa seorang khalifah yang sangat disegani oleh seluruh gubernurnya, memang sungguh-sungguh hidup sangat sederhana, tidak memiliki istana, dan berkantor di bawah pohon kurma, untuk mengurus dan mengambil keputusan seluruh persoalan umat.

Dengan penuh rasa percaya diri, Yahudi itu memasuki istana Amru bin Ash, kemudian mereka bertemu . "Yang mulia…", kata Yahudi itu membuka percakapan," Setelah arungi lautan pasir, bolak balik Mesir-Madinah mencari keadilan, yang saya dapatkan hanyalah sebuah pesan dari khalifah Anda." Si Yahudi itu pun menyerahkan sepotong tulang ke tangan gubernur Mesir, Amru bin Ash. Dengan tatapan mata dingin tak berkedip, Yahudi itu memerhatikan gubernur Mesir, yang menatapi sepotong tulang sebagai pesan dari khalifahnya.

"Tuan…" kata Amru bin Ash dengan suara gemetar, kening yang dipenuhi bintik-bintik peluh serta bola mata yang mulai berkaca-kaca… aku sulit menyusun kata untuk mengomentari pesan dari amirul mukminin ini. Demi Allah dan Rasu-Nya, kalian dalam tanggunganku, dan rumah kalian tidak akan kami sentuh. Maafkan kami!" kata Amru bin Ash sambil mendekati kemudian merangkul tubuh kurus tamunya.

Pada waktu yang sama, Yahudi itu pun sulit menahan derai air matanya sendiri. Merasa tersanjung dan teramat haru. Betapa tidak, orang yang paling dihormati oleh seluruh penduduk Mesir, tapi keputusannya dengan mudah dipatahkan hanya oleh sepotong tulang bergores lurus. Selang beberapa waktu, Si Yahudi itu pun mewakafkan tanah dan bangunannya untuk perluasan istana Amru bin Ash, setelah dia masuk Islam. Dan Amru bin Ash mengganti kemuliaan hati mualaf itu dengan lahan yang luasnya sepuluh kali lipat, plus bangunan siap huni.

Akhir kalam, itulah kisah tentang Khalifah Umar bin Khattab. yang tidak memandang agama, suku, ras atau golongan dari pencari keadilan yang datang kepadanya. Kisah ini telah terukir dengan tinta emas dalam perjalanan sejarah Islam untuk dibaca dan diteladani oleh kita semua, khususnya oleh para pemimpin bangsa ini. Mari kita bersikap adil. Serahkan segala persoalan hukum serta sengketa kepada pengadilan untuk diputuskan secara adil, karena adil itu lebih dekat kepada ketakwaan dan keadilan dapat menurunkan hidayah-Nya.

Oleh: Rakhmad Zailani Kiki Kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre

sumber : Dialog Jumat
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement