IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Jeddah merupakan pelabuhan bagi jamaah yang menuju Makkah. Abdoel Patah dalam disertasinya yang berjudul The Medische zijde Van The Bedevaart Naar Mekkah menceritakan pada 1926, ada tiga cara penyediaan air di Jeddah. Disertasi Abdoel Pattah ditulis ulang Nani Amalia dengan judul Segi Kesehatan Perjalanan Ziarah Ke Makkah.
Pertama, menggunakan dua kondensor, dengan daya tampung 120 dan 105 ton air yang mereka sediakan tiap hari, cukup bebas dari kuman. Namun pengangkutan ke rumah-rumah dalam drum-drum yang diangkut dengan pedati keledai di dalam blek minyak tanah, sama sekali tidak diawasi kebersihannya.
Cara yang kedua adalah diangkut dari beberapa sumur (Hufro), beberapa ratus meter di luar kota dengan unta-unta yang tempat airnya adalah kantong-kantong dari kulit. Cara yang ketiga, yaitu dari sumur rumah-rumah baik di kota maupun di tanah datar.
Sedikit di luar ada beberapa penampungan air hujan (shreid) yang pada hari-hari hujan. Di Jeddah, Abdoel Patah menemukan jentik-jentik nyamuk di dalam air yang diambil dari tong-tong air yang tidak tertutup dan tempat-tempat persediaan air yang kotor. Di mana air minum dan air untuk mandi disimpan di satu tempat yang isinya istimewa bagi sarang nyamuk.
Abdoel Patah juga menemukan anopheles di dalam air sumur dan penampungan air hujan di daerah Ru'es Tahtani dan makam Siti Hawa (0,5-1 km dari Jeddah). Sewaktu dia tinggal di Jeddah, Abdoel melihat penduduk Jeddah yang mampu hanya menggunakan air kondensor.
"Air ini paling mahal kurang lebih 10 sen per kaleng minyak tanah untuk diminum," katanya.
Air hasil penampungan air hujan umumnya hanya dipakai untuk mandi, tetapi oleh yang kurang mampu juga dipakai untuk minum. Sekarang Jeddah memiliki air ledeng yang kira-kira pada 1932 baru pertama kali dipakai.