IHRAM.CO.ID, Islam adalah satu-satunya agama yang memberikan apresiasi tinggi terhadap ilmu. Ratusan hadis dan ayat Alquran yang berhubungan dengan ilmu sebagai saksinya. Belum lagi dengan fakta sejarah tentang kiprah Nabi Muhammad SAW dalam mengutamakan ilmu. Rasulullah SAW tidak diragukan lagi adalah seorang guru dan pendidik yang ulung. Beliau adalah gurunya para guru, dan modelnya para model yang merupakan contoh ideal bagi umat manusia.
Dr James E Royster dari Cleveland State University telah melakukan penelitian intensif tentang sisi hidup Rasulullah SAW sebagai seorang pendidik yang mendorong setiap orang menuntut ilmu (Jurnal The Muslim World, 68, no.4, th.1978,hlm. 235-258). Dengan jujur ia mengakui bahwa tidak ada seorang pun dalam sejarah hidup manusia yang memiliki banyak pengikut dibanding Nabi Muhammad SAW.
Royster menyentil orang-orang non-Muslim yang sering kali melupakan kenyataan ini. Hal yang tidak kalah penting dari kesimpulan penelitiannya adalah bahwa Nabi Muhammad tidak hanya sebagai guru bagi generasi pada masanya, tetapi juga untuk seluruh umat Islam hingga saat ini. Intinya adalah bahwa sang guru itu adalah Nabi Muhammad SAW dan murid-muridnya adalah seluruh kaum Muslimin. Rasulullah SAW mengajarkan Alquran dan sunah yang menjadi pegangan umat Islam.
Sebagai pendidik, Nabi tidak mengelola pendidikan formal, namun jenis pendidikan yang bersifat fleksibel. Sasarannya adalah untuk pembinaan jiwa, intelektual, dan moral melalui bimbingan wahyu. Sebelum Rasulullah SAW mendirikan masjid, satu-satunya tempat yang dijadikan pusat pembelajaran adalah rumah al-Arqam. Di rumah itulah Nabi mengajarkan dan menjelaskan doktrin ilahiah tentang keimanan (tauhid).
Wahyu yang disampaikan Nabi mengandung ajaran untuk pencerahan dan pencerdasan umat manusia. Wahyu pertama dalam surah al'Alaq (perintah untuk membaca) yang diturunkan kepada Rasulullah SAW terbukti telah mengubah wajah peradaban manusia dari kebodohan, keterbelakangan menjadi berperadaban mulia di bawah sinar wahyu.
Pengakuan tulus dikemukakan oleh Bayard Dodge, sarjana Barat non-Muslim ahli sejarah pendidikan Islam, dalam bukunya Muslim Eucation in Medieval Times (1962) yang menulis: In the midts of this primitive culture, Muhammad's call to prophethood was like the planting of a seed, destined to blossom as the intellectual heritage of Islam (Di tengah-tengah budaya primitif itu, dakwah kenabian Muhammad SAW bagaikan penyebaran benih yang ditakdirkan berkembang menjadi warisan kecendekiawanan Islam).
Nabi Muhammad SAW juga menunjukkan kepedulian yang besar dalam memberantas iletarasi (buta huruf). Misalnya, saat kaum Muslimin meraih kemenangan dalam Perang Badar (tahun 624), beliau meminta tawanan yang terpelajar mengajar baca-tulis anak-anak Madinah. Nabi juga menunjuk beberapa orang sahabat menjadi guru, seperti 'Ubaida ibn al-Samit yang diangkat sebagai guru di sekolah Suffa di Madinah untuk pelajaran menulis dan studi Alquran. Sejarawan Islam ada yang memandang Suffa sebagai "universitas" Islam pertama.
Melalui pesan beliau ballighu 'anni walau aayah, Nabi mendorong masyarakat menyampaikan kepada sesama segala hal yang mereka dapatkan dari beliau walaupun hanya satu ayat. Nabi berhasil membentuk masyarakat yang aktif belajar (learning society) yang menempatkan agama sebagai elemen pokok kebutuhan spiritual dan intelektual.
Yang tidak kalah menariknya adalah motivasi Nabi mencari ilmu meskipun sampai ke negeri Cina. Cina yang saat itu jaraknya sangat jauh dari dunia Islam, ternyata diperdekat oleh Nabi dengan spirit (semangat) mencari ilmu. Di samping menyebut Cina, Nabi juga menyinggung Yahudi dengan memerintahkan sekretarisnya, Zayd, untuk menguasai bahasa orang Yahudi.
Hadis Nabi yang menyingung Cina dan Yahudi seakan memberi isyarat kepada umat Islam bahwa tidak ada dikotomi (pemisahan) dalam mencari ilmu. Artinya, dengan menyebut Cina dan Yahudi Nabi mengisyaratkan bahwa ilmu-ilmu selain agama harus dikuasai oleh umat Islam. Sebab, jika tidak maka umat Islam yang mudah dikuasai.
Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW hadir belakangan, namun mampu menguasai dunia lebih awal. Transformasi kekuatan ajaran yang dibawa Rasulullah SAW tidak hanya melahirkan para ulama besar, namun juga orang-orang jenius di berbagai disiplin ilmu. Ibnu Nafis (ahli kedokteran) adalah penemu sirkulasi darah, 300 tahun sebelum Servet dari Eropa. Ibnu Majid seorang ahli kelautan yang menjadi inspirator Vasco Da Gama untuk menemukan Calcutta. Abdul Qasim adalah penemu TBC tulang punggung, tujuh abad sebelum ditemukan oleh Percivall Pot (1713-1788). Dalam bidang matematika tidak ada yang tidak kenal dengan ahli seperti Zero, Al Gebra, dan Al Goritma. Begitu juga dengan pakar seperti Chemistry, Alcohol, Alkali, Elixir dalam bidang Kimia. Zenith, Azure, Azimuth, Gibraltar, Elimate dalam bidang geografi.
Para ilmuwan Muslim telah mampu menangkap spirit untuk bersungguh-sungguh mencari ilmu seperti yang diajarkan Nabi. Mereka juga tidak mendikotomikan antara wahyu dan alam, serta wahyu dan akal. Sejarah perkembangan ilmu dalam Islam telah menunjukkan adanya hubungan harmonis dan dialektika antara ilmu agama dan nonagama. Berkembangnya ilmu-ilmu agama lebih awal adalah isyarat bahwa manusia dengan segala peradabannya harus hidup di atas landasan agama yang kokoh.
Kini, jika umat Islam menyatakan tengah melaju mengejar ketertinggalan, maka Pendidikan Islam mulai dari Ibtidaiyah (sekolah dasar) hingga perguruan tinggi harus benar-benar melepaskan pandangan dikotomis dalam memandang ilmu pengetahuan. Semangat uthlub al-'ilma (kegairahan mencari ilmu) wajib dikobarkan merata di seluruh kalangan. Bahkan, tidak ada halangan bagi seorang guru madrasah sekalipun untuk berpacu menuntut ilmu hingga merebut gelar doktor.
Alergi terhadap Eropa juga harus dikikis sebab mereka telah mengakui berutang budi kepada umat Islam yang telah mengeluarkan mereka dari lumpur kegelapan di Abad Pertengahan. Bahkan, karya-karya ilmuwan Muslim hingga kini masih tersusun rapi di berbagai perpustakaan internasional. Ironis, justru negara-negara non-Muslim seperti Amerika yang secara telaten dan profesional menyimpannya. Oleh sebab itu, ketika pelajar Muslim datang ke Amerika untuk belajar, pada hakikatnya untuk menjemput "permata" milik Islam yang sementara "dipinjam" oleh Eropa. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan sepanjang fondasi agama telah kuat! n
Irwandi
Dosen STAIN Bukittinggi, Sumatra Barat