IHRAM.CO.ID, Shaleh Putuhena dalam Historiografi Haji Indonesia mengatakan, calon jamaah haji nusantara untuk pertama kalinya menggunakan kapal khusus pengangkut jamaah haji pada 1825. Kapal tersebut disiapkan oleh Syekh Umar Bugis, yang sekaligus menjadi awal tren pengangkutan jamaah haji.
Sejak itu, pemberangkatan haji dilakukan menggunakan kapal milik seorang syekh dengan jumlah jamaah yang terus meningkat. Sebelum para syekh menggunakan kapalnya mengangkut calon jamaah haji, Muslim nusantara menggunakan kapal dagang.
Layaknya kapal dagang, mereka biasanya menurunkan jangkar selama beberapa hari di setiap pelabuhan yang disinggahi di sepanjang rute Singapura atau Malaysia-Eropa. Dan, karena itu pula, awak kapal tidak menyediakan kelengkapan khusus bagi penumpang. Mereka harus membawa sendiri keperluan logistik mereka, seperti beras dan bahan lauk-pauk.
Selain itu, layaknya kapal barang, kapal-kapal dagang pengangkut calon jamaah haji itu tentu tidak menyediakan fasilitas kamar. Penumpang harus rela berdesakan dan berimpitan dengan barang dagangan yang menjadi muatan utama kapal. Singkatnya, perjalanan haji kala itu adalah perjalanan yang panjang dan berat.
Meski demikian, kondisi yang sulit serta penjajahan Belanda kala itu tidak memengaruhi niat Muslim nusantara untuk menunaikan haji, yang terlihat dari meramainya pelayaran perjalanan haji pada masa tersebut.
Menurut M Dien Majid, keinginan kuat tersebut dipengaruhi keyakinan mendalam dalam diri setiap Muslim tentang ajaran Islam yang mereka anut bahwa umat Islam harus menyempurnakan keislaman mereka dengan berhaji ke Tanah Suci.
Lima faktor
Putuhena (2007), dalam Historiografi Haji Indonesia, menjelaskan, perkembangan jamaah haji pada abad 19 dipengaruhi lima faktor. Pertama, semakin banyak masyarakat Muslim, terutama yang ada di perkotaan dan tinggal di pusat pendidikan Islam seperti pesantren, yang memahami kedudukan ibadah haji dalam Islam. Sehingga, mereka merasa berkewajiban melaksanakannya ketika telah mempunyai kemampuan untuk itu.
Kedua ,meningkatnya keinginan masyarakat untuk menuntut ilmu di Haramain sehingga sebagian jamaah haji bermukim selama beberapa tahun di Makkah usai melaksanakan haji. Realitas ini diperkuat oleh data-data yang mengungkapkan jumlah jamaah haji yang kembali ke nusantara lebih sedikit daripada jumlah mereka saat berangkat.
Ketiga ,semakin mudah dan teraturnya perjalanan haji pada abad 19, yang ditandai dengan semakin lancarnya hubungan pelayaran ke Timur Tengah. Keempat ,faktor syekh atau perwakilannya di Indonesia yang ikut mempropagandakan haji sebelum 1870. Mereka bahkan turut serta memberangkatkan jamaah haji dengan kapal mereka sendiri.
Faktor terakhir (kelima), para bupati di Jawa diperkenankan mempropagandakan haji. Pemerintah tidak keberatan jika para bupati tersebut diupah 2,5 gulden untuk setiap jamaah haji. Kebijakan ini berbeda dengan yang ditetapkan pada permulaan abad, yang cenderung mempersulit perjalanan haji.