IHRAM.CO.ID, OLEH AHMAD RIFAI
Allah menguji hamba-Nya dengan beragam ujian. Salah satunya adalah ujian kekurangan harta.Melalui ujian itu, Allah ingin menampakkan kesabaran seorang hamba. Apakah tetap bertahan dalam koridor syariah atau sebaliknya?
Tidak mudah lulus dari ujian ini.Sebab, manusia memang terbekali oleh tabiat cinta kepada harta, terlebih jika harta itu memang sangat dibutuhkan.Tentunya bobot ujiannya semakin berat.Allah berfirman yang artinya, Sesungguhnya manusia itu teramat cinta kepada harta (QS al-Adiyat: 8).
Memang, cinta harta yang tak terkendali sangat berbahaya. Seorang terkadang berpikir praktis dengan menempuh jalan pintas dalam mencari harta. Urusan halal-haram diabaikan.Sebab, yang terpenting, bagaimana harta itu didapatkan.
Kondisi seperti tentu merugikan dan mencelakakan. Beragam keburukan telah menanti. Yang paling mengerikan, doa menjadi sulit terkabul. Nabi pernah berkisah tentang seorang dalam safar (perjalanan). Satu keadaan yang doa itu mustajab (berpeluang besar diterima), tetapi ternyata doa orang itu tidak diterima. Penyebabnya kata Nabi, Bagaimana mungkin diterima sementara makanannya dari yang haram, minuman dan pakaiannya dari yang haram kebutuhan-kebutuhannya dari yang haram (HR Muslim).
Jika doa tidak terkabul, tentu kesulitan demi kesulitan akan menghampiri. Sebagai makhluk yang lemah, kita sangat butuh pertolongan Allah. Pertolongan itu didapatkan melalui jalur doa. Jika doa tidak terkabul, rahmat Allah tidak akan mengucur sehingga kemudahan dan kebahagian yang diidamkan tidak terwujud.
Selain doa yang sulit terkabul, harta haram juga penyebab sulitnya melakukan amal saleh. Memang, terkadang secara jumlah sangat melimpah, bahkan bisa jadi grafiknya terus meningkat. Tetapi, pada sisi keberkahan, terus tergerus.
Harta yang kehilangan berkah berpotensi menjadi bumerang bagi pemiliknya. Semestinya harta menjadi sarana dalam meraih kemuliaan, yaitu dengan menyalurkan pada hal-hal yang bermanfaat. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Harta yang melimpah menjadi sumber keburukan dan dosa.
Itulah sebabnya Allah berpesan kepada para nabi untuk makan dari yang halal. Allah berfirman yang artinya, Makanlah dari yang baik-baik dan lakukanlah amal saleh (QS al- Mukminun: 51). Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata, Ini menunjukkan bahwa yang halal itu adalah penolong dalam melakukan amal saleh (Tafsir Ibnu Katsir, 5/415).
Jadi, bagi seorang Muslim, harta yang halal adalah harga mati. Sebab, jika tidak, maka seorang Muslim akan terhalang dari mengerjakan amal saleh. Padahal, pengakuan kita sebagai mukmin membutuhkan bukti dan bukti tersebut adalah amal saleh.
Oleh sebab itu, beredarnya beragam prediksi tentang krisis ekonomi menuntut persiapan bekal. Namun, bagi seorang Muslim, bekal yang paling fundamental adalah sabar dalam koridor yang halal saat mencari harta. Jika prinsip itu dipegang maka sedahsyat apa pun krisis ekonomi mengguncang, seorang Muslim akan mampu menghadapinya. Sebab, seseorang menghadapi krisis bukan dengan kemampuannya semata, melainkan karena di- backup oleh pertolongan Allah.