IHRAM.CO.ID, Sejatinya Abul Atahiyah bernama lengkap Abu Ishaq Ismail ibnu Qasim al-Anaz. Ia terlahir di Kufah, Irak, pada 748 M. Menurut Syekh Muhammad Said Mursi dalam Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, penyair terkemuka itu populer dengan nama Abul Atahiyah.
"Konon dia sering merasa bingung,"ujar Syekh Mursi.
Ia berasal dari suku Anaza. Abul Atahiyah terlahir dari sebuah keluarga dokter. Ayahnya seorang tabib. Berbeda dengan sang ayah yang menekuni dunia medis, sejak remaja ia sangat gemar menulis syair. Dia dikenal sebagai seorang penyair yang sangat produktif. Betapa tidak. Dalam sehari, Abul Atahiyah mampu menulis sebanyak 100 bait syair.
Ketika mulai menekuni dunia sastra, lewat syairnya Abul Atahiyah kerap menyindir dan terkadang mengolok-olok kalangan kaum kaya-raya yang hidup di metropolitan dunia di abad pertengahan, Baghdad. Ia memang menghabiskan sisa hidupnya di pusat peradaban Islam itu setelah hijrah dari tanah kelahirannya, Kufah.
Syair-syairnya yang kerap menyentil kaum berpunya membuat Abul Atahiyah begitu populer di kalangan orang-orang miskin di Baghdad. Ia dikenal dan dikenang para penyair karena lirik-lirik syairnya yang cenderung anacreontic dan lebih banyak menonjolkan cinta.
Di akhir-akhir hidupnya, Abul Atahiyah lebih cenderung menulis syair-syair yang bernuansa kezuhudan. Ia lebih mengajak orang-orang dan dirinya untuk mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Salah satunya, syair yang dibacakannya di depan Khalifah Harun ar-Rasyid. Karya-karyanya yang cenderung menampilkan kezuhudan itu membuatnya dikenal sebagai penyair Arab yang memelopori tren filsafat dalam puisi.
Bahasanya yang sederhana membuat syair-syairnya begitu digemari dan dikagumi masyarakat di zamannya, mulai dari orang miskin hingga Khalifah. Meski kerap mengingatkan para penguasa untuk menghindari kepalsuan dunia, Abul Atahiyah memiliki hubungan yang baik dengan para khalifah Abbasiyah. Tak heran jika ia sering diundang ke istana untuk melantunkan syair-syairnya yang indah.
Abul Atahiyah sempat mencoba meninggalkan profesinya sebagai penyair selama beberapa waktu, papar Syekh Mursi. Namun, keputusan itu berbuah ancaman baginya. Penguasa ketiga Dinasti Abbasiyah, Khalifah Al-Mahdi (775-785 M) sempat mengancam akan membunuh Abul Atahiyah jika berhenti dari profesinya sebagai penyair.
Mendapat ancaman seperti itu, Abul Atahiyah pun kembali menulis syiar dan berprofesi sebagai penyair. Gaya dan lirik syair-syair yang ditulisnya pada abad ke-9 M hingga kini masih ditiru para penyair di negeri Arab. Ia juga dicatat sebagai seorang penyair yang meninggalkan dan tak menggunakan bentuk elegi.
Selain itu, ia didaulat sebagai salah satu penyair filosofis paling awal dari Jazirah Arab. Ia menuliskan fenomena kehidupan yang terjadi pada masanya dalam bait-bait syairnya. Ia juga sangat perhatian dalam mengajak masyarakat di zamannya untuk mengutamakan moralitas di kehidupan. Terkadang juga syairnya melukiskan rasa pesimisme.
Sayangnya, kata Syekh Mursi, para ahli sejarah tak bisa sepenuhnya mengumpulkan syair-syair karya Abul Atahiyah. Karena jumlah syair yang ditulisnya sangat banyak, ujarnya. Abul Atahiyah meninggal dunia di Kota Baghdad pada 825 M. Saat itu, Kekhalifahan Abbasiyah dipimpin Al-Ma’mun--khalifah ke-7 yang berkuasa dari 813-833 M.
Hingga kini, namanya tetap dikenang dan ditorehkan dalam sejarah peradaban Islam dengan tinta emas, sebagai salah seorang penyair agung di era kejayaan peradaban Islam.