IHRAM.CO.ID, Perang Khaibar terjadi di tahun ketujuh Hijriah atau 629 M. Dalam perang ini, umat Islam melawan tentara Yahudi yang bermukim di Oasis Khaibar. Jaraknya sekitar 150 kilometer dari Madinah.
Perang besar-besaran ini berbuntut pada tercetusnya perjanjian Hudaibiyah. Tentara Islam yang dipimpin Ali bin Abi Thalib meraih kemenangan di perang tersebut. Kemenangan itu disambut gembira oleh umat Islam.
Rasulullah menyadari, kemenangan yang diperoleh itu tidak lepas dari tangan-tangan perempuan andal. Karena itu, Nabi berlaku adil ketika membagikan sebagian hasil rampasan perang. Para pejuang, baik laki-laki maupun perempuan, mendapat jatah. Apresiasi ini mendapat respons positif dari Umayyah dan teman-temannya.
Selain itu, Nabi Muhammad memberikan penghargaan khusus bagi Umayyah, yaitu sebuah kalung yang disematkan di lehernya. Ini sebagai bentuk penghormatan dan jasa keberanian, berikut kegigihannya berjihad di jalan-Nya.
Kalung pemberian Rasulullah itu ia kenakan sepajang hayatnya hingga ajal menjemput. Benda tersebut kelak akan menjadi saksi atas perjuangannya membela Islam selama di dunia.
“Demi Allah, saya tidak akan melepaskan kalung ini untuk selamanya.”
Sepak terjang pejuang perempuan suku Ghiffar, tak terkecuali di Perang Khaibar, patut dicontoh. Ketika turun ke medan perang, usia mereka masih muda. Namun, kontribusi yang diberikan terhadap Agama Allah, sungguh luar biasa.
Air garam
Saat mengikuti peperangan, Umayyah belum memasuki usia baligh. Namun, semangat dan keberaniannya tidak bisa dibendung. Dalam perjalanannya menuju medan perang, ia bertemu dengan Rasulullah. Nabi memerintahkannya untuk ikut bersama di kudanya.
Sampai di tempat tujuan, ketika Nabi turun untuk mengikat kuda, terlihat tetesan darah di atas pelana. Rasulullah kaget, lalu menanyakan kepada Umayyah, “Jangan-jangan kamu sedang haid.’’ Umayyah dengan malu mengangguk. “Itulah haid pertama saya di atas kuda Rasulullah. Saya benar-benar malu saat itu,’’ kata Umayyah.
Nabi memberi nasihat agar Umayyah segera membersihkan badannya. Lalu, mengambil air dalam ember yang telah ditaburi garam untuk membersihkan pelana yang terkena darah. Nasihat Rasulullah itu dilaksanakan hingga setiap Umayyah mendapat haid. Ia membersihkan darah haid dengan air garam. Bahkan, ketika wafat, Umayyah berwasiat agar jasad nya dimandikan dengan air garam.