IHRAM.CO.ID, Marrakech merupakan kota terbesar kedua di Maroko setelah Casablanca. Penguasa Dinasti Murabitun memilih Marrakech sebagai pusat pemerintahannya yang jauh dari gunung dan sungai. Marrakech dipilih karena berada di kawasan yang netral di antara dua suku yang bersaing untuk meraih kehormatan untuk menjadi tuan rumah di ibu kota baru itu.
Selama berabad-abad, Marrakech sangat dikenal dengan sebutan Seven Saints, atau tujuh orang suci. Ketika sufisme begitu populer semasa kekuasaan Moulay Ismail, di Marrakech sering diadakan festival Seven Saints. Pada 1147 M, Marrakech diambil alih Dinasti al-Muwahiddun. Pada masa itu, bangunan penduduk dan ibadah yang dibangun pada masa Dinasti al-Murabitun dihancurkan.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu, penguasa Muwahiddun kembali merekonstruksi seluruh bangunan, termasuk Masjid Koutoubia yang menjadi ikon kota Marrakech hingga saat ini. Mengutip laman Wikipedia, Masjid Koutoubia merupakan masjid terbesar di Marrakech.
Yulianto Sumalyo dalam Arsitektur Masjid dan Monumen Sejarah Muslim mengungkapkan bahwa rekonstruksi terhadap bangunan Masjid Koutoubia semasa Dinasti Muwahiddun dilakukan dalam dua tahap. Pertama, pada 1147 M, yakni ketika penguasa pertama Dinasti Muwahiddun, Abdul Mukmin, berhasil merebut Kota Marrakech dari tangan penguasa Dinasti Murabitun dan memproklamasikan dirinya sebagai khalifah.
Pada tahun tersebut, Abdul Mukmin dapat menguasai berbagai kota di Spanyol dan Afrika Utara, termasuk Marrakech. Penguasaan Kota Marrakech oleh pasukan Abdul Mukmin menjadi tonggak sejarah berakhirnya kekuasaan Dinasti Murabitun dan berdirinya Dinasti Muwahiddun. Sejalan dengan peristiwa tersebut, dari segi perkembangan seni dan arsitektur, mulai berkembang corak klasik khas Muwahiddun, antara lain yang terdapat dalam bangunan Masjid Koutoubia.
Sementara itu, rekonstruksi tahap kedua diperkirakan selesai pada 1158. Pada rekonstruksi tahap kedua ini dilakukan perubahan terhadap arah kiblat Masjid Koutoubia, yakni dibuat menyamping ke kanan lebih kurang lima derajat ke arah utara dari posisi kiblat sebelumnya.
Perubahan arah kiblat tersebut dilakukan kemungkinan karena arah kiblat pada rekonstruksi masjid tahap pertama setelah selesai dibangun diketahui kurang tepat, kemudian dikoreksi pada saat dilakukan rekonstruksi tahap kedua. Perubahan arah kiblat itu menyebabkan dinding masjid bagian kiri-kanan atau yang menghadap timur dan barat terlihat patah di bagian tengahnya.