IHRAM.CO.ID, Belum lama kita mendengar istilah teknologi nano. Karena itu, sulit membayangkan sebuah partikel yang sangat kecil, namun menentukan itu digunakan oleh para pembuat pedang Muslim di masa lalu. Apalagi nanometer, alat untuk mengukur teknologi nano, belum ada. Baru saat-saat ini saja, manusia bisa mengukur besaran nano dalam sebuah partikel.
Meski demikian, teknologi nano inilah yang dipercaya sebagai inti dari kekuatan besi Damaskus. Tekonologi nano bisa diterjemahkan sebagai proses inklusi yang disengaja dari material yang sangat kecil sehingga menghasilkan reaksi kimia pada level kuantum. Teknologi nano ini pernah ditemukan pada warna biru yang muncul di mural bangsa Maya di Amerika pada abad ke-8.
Teknologi itu juga ditemukan pada kaca bercorak pada masa Renaissance di Eropa, serta kaca berwarna di Mesir. Hal-hal luar biasa itu dipicu oleh material kecil yang memicu inklusi sehingga bisa dikatakan teknologi nano adalah bentuk alkemia yang paling murni.
Teknologi nano inilah yang memegang peranan penting dalam terciptanya besi Damaskus. Sebuah material asing yang sangat kecil, yang justru mempengaruhi sebagian besar besi yang lain. Tidak ada yang bisa menciptakan teknologi itu setelah pertengahan abad ke-18. Bahkan, para pembuat pedang di Eropa pun tak pernah berhasil memicu terjadinya inklusi material terkecil itu. Sampai saat ini, hal tersebut masih menjadi tanda tanya bagi mereka.
Sebenarnya, apa yang disebut sebagai besi Damaskus yang asli adalah besi yang terbuat dari bahan mentah yang biasa disebut baja wootz. Wootz adalah jenis besi berlevel tinggi yang pertama kali dibuat di India dan Srilanka pada 300 tahun sebelum Masehi. Wootz diekstraksi dari bijih besi yang dilelehkan kemudian dibuang bahan-bahan yang mengurangi kemurnian besi tersebut. Pada bahan tersebut lalu ditambahkan kadar karbon hingga 1,5 persen. Pada besi-besi yang lain, kadar karbonnya hanya satu persen.
Kadar karbon yang tinggi itulah yang menjadi kunci terpenting dari pembuatan besi Damaskus. Sedikit saja kesalahan dalam menambahkan kadar karbon itu, kualitas besi yang didapatkan tidak akan maksimal. Kadar karbon yang tinggi akan membuat pedang yang tercipta memiliki sisi yang sangat tajam dan rapi, serta daya tahan yang tinggi.
Sebenarnya, sangat sulit untuk mendapatkan kadar karbon yang sesuai dengan kebutuhan. Kadar karbon yang terlalu sedikit akan menghasilkan besi yang terlalu lembek saat ditempa. Jika terlalu banyak akan didapatkan besi yang terlalu liat. Sementara campuran kadar karbon yang tidak tepat akan menghasilkan pedang yang sangat mudah patah. Meski begitu, para ahli logam Muslim mampu mengontrol kadar tersebut sehingga besi yang dihasilkan layak digunakan untuk membuat senjata. Sayangnya, kemampuan itu hilang sejak pertengahan abad ke-18.