IHRAM.CO.ID, BAGHDAD -- Menurut pakar fikih asal Irak, Ibrahim Yazid An-Nakhai, walaupun hadits Rasulullah SAW menyatakan bahwa haji yang kedua dan seterusnya adalah sunnah, namun hukum itu bisa berubah manakala ada atau tidak ada illat (alasan) yang mengikutinya. Kaidah usul fikih menyebutkan, hukum itu beredar (berlaku) sesuai dengan ada atau tidaknya illat.
Rasulullah SAW pernah menangguhkan hukum rajam atas diri seorang pezina karena sedang hamil. Khalifah Umar bin Khattab RA pun pernah tidak menerapkan hukum potong tangan ketika seseorang yang mencuri karena keluarganya dalam keadaan miskin.
Dengan bersandar pada kaidah usul fikih di atas, menurut Ibrahim An-Nakhai, berhaji lebih dari sekali yang hukum asalnya sunah bisa menjadi makruh. Alasannya, apabila ada orang yang belum pergi haji dan ingin berangkat, namun gagal karena terbatasnya kuota, sementara di dalamnya ada orang yang sudah berhaji, maka hukumnya makruh.
Ulama yang juga budayawan, KH A Mustofa Bisri (akrab disapa Gus Mus), dalam bukunya Fiqh Keseharian Gus Mus, menyatakan, Al-Muta'addi Afdhalu min al-Qaashir (yang luas itu lebih baik daripada yang ringkas).” Maksudnya, membantu fakir miskin, anak yatim, membangun lembaga pendidikan, dan lain sebagainya yang manfaatnya lebih luas, lebih afdhal (mulia) daripada berhaji untuk kedua kali atau lebih yang manfaatnya hanya untuk diri sendiri.
Tentu saja, memberi sedekah dan membangun lembaga pendidikan akan lebih besar manfaatnya (maslahah). Bahkan, andaikata dari setiap musim haji terdapat 10.000 orang yang sudah pergi haji dan uang BPIH minimal Rp 25 juta itu disumbangkan untuk kepentingan membantu fakir miskin, menyantuni anak yatim dan lainnya, akan terkumpul dana dari haji setiap tahun sebesar Rp 250 miliar. Sebuah dana yang cukup besar untuk meningkatkan kesejahteraan anak yatim dan memberdayakan fakir miskin.
Pendapat senada juga diungkapkan Imam Malik. Menurut pencetus metode hukum fikih, Maslahah Mursalah ini, tiap maslahah merupakan pengkhususan (takhshih) dari keumuman hukum atau dalil yang qath'i (pasti) dan dzanny (yang meragukan). (Lihat Abu Zahrah, Usul Fiqh).
Rasulullah SAW pun sering memerintahkan umatnya untuk membantu fakir miskin dan menyantuni anak yatim. Barangsiapa tidak mau memperhatikan urusan orang Muslim, maka Ia tidak termasuk golongan mereka.” Lebih tegas lagi, Rasulullah mengatakan, Tidak termasuk orang yang beriman, orang yang tidur kekenyangan, sementara dirinya (mengetahui) ada tetangganya yang sedang kelaparan dan kekurangan.”
Dengan alasan ini, tentunya mengulang ibadah haji lagi sementara di sekitarnya atau di negeri ini masih banyak yang kekurangan, alangkah bijaknya andaikata bisa menggunakan dana untuk haji yang kedua atau lebih itu untuk kepentingan umat yang membutuhkan. Wallahu A’lam.