IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Pelaksana Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Fadlul Imansyah menyebut pihaknya telah menyiapkan akun virtual (VA) kepada setiap jamaah haji. Setiap tahunnya, VA ini diisi dengan nilai manfaat pengelolaan dana haji.
"Sampai saat ini kami sudah membuat VA per-calon jamaah haji. Jadi setiap nilai manfaat yang dihasilkan oleh pengelolaan keuangan haji di BPKH sudah didistribusikan setiap tahun secara rutin ke jamaah haji," ujar dia dalam acara Fokus Terkini "Di Balik Tata Kelola Dana Haji" yang disiarkan TVRI, Rabu (1/2/2023) kemarin.
Terkait kecukupan nilai manfaat untuk menutupi biaya keberangkatan jamaah haji tahun berjalan, ia pun mengaitkan dengan kenaikan biaya haji yang cukup signifikan terjadi pada 2022 dan 2023.
Dengan kondisi tersebut, nilai manfaat yang seharusnya didistribusikan sesuai rencana awal, harus ikut menutupi dari calon jamaah haji yang keberangkatannya akan dilakukan di tahun berjalan. Ia pun mengakui jika hal ini menjadi sumber permasalahan.
Karena itu, Kementerian Agama dan BPKH disebut berupaya memberi usulan biaya haji yang rasional untuk melindungi calon jamaah haji tunggu. Diketahui saat ini jumlah jamaah haji tunggu Indonesia mencapai 5,2 juta orang di seluruh negeri.
"Kalau nilai manfaat yang seharusnya didistribusikan kepada calon jamaah haji tunggu harus diberikan sebagian bsr ke jamaah berangkat tahun berjalan, itu yang disampaikan Pak Kiai Ni'am dapat diindikasikan sebagai malpraktik. Itulah mengapa kemudian BPKH dan Kemenag mengusulkan skema yang besarannya 70:30," lanjutnya.
Besaran nilai manfaat yang didistribusikan untuk biaya haji disebut pernah berada di angka 80:20 pada 2010. Namun seiring berjalannya waktu terjadi fluktuasi, yaitu 50:50, 40:60 dan sebagainya. Berkaca pada lonjakan signifikan pada 2022, hal ini menjadi faktor pendorong pihaknya mengusulkan di angka 70:30.
Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menyampaikan usulan biaya haji 2023 sebesar Rp 98.893.909. Dari angka ini, Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang dibebankan kepada tiap jamaah senilai Rp 69.193.733 atau 70 persen dari biaya total.
Lebih lanjut, Fadlil juga menyoroti istilah subsidi yang berkembang di masyarakat, yang menjadi perhitungan internal untuk didefinisikan kembali. Secara nomenklatur, subsidi berarti bantuan dari pemerintah. Sementara, dana yang digunakan untuk membantu biaya haji ini berasal dari jamaah haji itu sendiri.
"Saat ini masyarakat menganggap subsidi itu dari pemerintah, padahal itu sebenarnya uang dari jamaah ke jamaah. Nah itu saja seharusnya suatu hal yang harusnya dihindari sejak awal," kata dia.
Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Ni'am dalam acara yang sama menyoroti perihal nilai manfaat dan penggunaannya. Ia menyebut nilai manfaat ini merupakan hak individu per-jamaah, bukan kelompok.
Nilai manfaat yang dihasilkan dari pengelolaan dana setoran haji jamaah oleh BPKH merupakan milik personal. Dana ini dikelola sembari menunggu kepastian berapa jumlah riil biaya haji yang harus dibayarkan.
"Kedudukan secara syar'i, uang yang diinvestasikan masih uang jamaah. Nilai manfaat setelah dipotong operasional dan ujrah wakalah kempali lagi kepada calon jamaah. Jadi begitu ditentukan berapa besaran biaya hajinya, tinggal dihitung matematika sederhana saja," ucapnya.
Ia lantas menakankan agar jangan sampai terjadi subsidi dari dana orang lain, yang pada hakekatnya bukan hak ulil amri dan bukan hak jamaah tahun berjalan, tanpa dikonfirmasi. Jika hal ini sampai terjadi, maka bisa disebut dzalim, memakan harta secara bathil dan bukan salah jamaah, tapi salah pengelola.