Sabtu 13 Sep 2014 17:26 WIB

Arief Rahman: Belajar di Tanah Suci (2-habis)

Rep: Ahmad Islamy Jamil/ Red: Chairul Akhmad
Arief Rahman.
Foto: Republika/Damanhuri/ca
Arief Rahman.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Arief percaya, ibadah haji menjadi sebuah sarana latihan bagi umat Islam untuk kembali ke ajal.

Dia mengaku merasakan kecintaan dan kerinduan yang luar biasa terhadap “getaran-getaran” yang muncul di tempat-tempat suci di Makkah dan Madinah. Kerinduan yang menurutnya juga dialami oleh orang-orang bertakwa saat mendekati maut.

Kedua, kata Arief, ada pembelajaran emosional dalam haji. Ibadah itu melatihnya untuk selalu mengendalikan diri dan perasaan. Selama berhaji, ada larangan kepada jamaah untuk tidak berbantah-bantahan dan membunuh hewan dalam keadaan berihram. Untuk hewan pengganggu seperti lalat sekalipun, dia mengungkapkan, tetap tidak boleh dibunuh.

Arief pun merasakan ada semacam ikatan emosional dengan Ka’bah. “Ketika berada di depan Ka’bah, seolah-olah ada panggilan kepada saya untuk datang kembali ke tempat itu. Ini salah satu yang mendorong saya untuk naik haji berkali-kali,” ujarnya.

Ketiga, pembelajaran intelektual. Menurutnya, setiap jamaah dituntut untuk memperhitungkan semua kemampuan (istita’ah) yang mereka miliki. Baik itu kemampuan jasmani maupun finansial. Selain itu, jamaah juga dituntut memikirkan bagaimana caranya menjaga kesehatan fisik selama berada di Tanah Suci.

“Semua hal tersebut tentunya harus diperhitungkan dengan baik menggunakan akal kita. Karena itulah, saya katakan haji juga menjadi sarana pembelajaran intelektual bagi kaum Muslimin,” katanya.

Selanjutnya, haji juga menjadi laboratorium bagi umat Islam untuk mengembangkan potensi sosial. Selama berada di Tanah Suci, kata Arief, dia dituntut untuk bergaul dengan orang-orang dari beragam latar belakang suku dan bangsa.

Dia berjumpa dengan jamaah dari Amerika, Polandia, Hungaria, Rusia, Bosnia, Palestina, dan masih banyak negara lagi. Belum lagi jamaah dari daerah-daerah di Indonesia, seperti Madura, Papua, Kalimatan, Makassar, dan Sumatra.

“Di situ betul-betul kelihatan apa yang difirmankan Tuhan dalam surah al-Hujuraat ayat 13 bahwa Dia menjadikan manusia ini bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar kita saling mengenal.”

Karena itu, Arief menambahkan, dia tidak bisa berdiam diri bersama orang-orang Indonesia saja. Dia juga merasa sangat membutuhkan untuk menjalin silaturahim dengan jamaah dari negara-negara lain. “Begitulah Allah menunjukkan kebesarannya,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement