Selasa 16 Sep 2014 16:30 WIB

Haji dan Sedekah

Pengemis di sudut jalan Jakarta.
Foto: Republika/Raisan Al Farisi/ca
Pengemis di sudut jalan Jakarta.

Diasuh oleh: Ustaz HM Rizal Fadillah

Assalamualaikum wr.wb.

Ustaz, mana yang lebih utama, naik haji atau menyantuni orang miskin ?

Fakhruddin-Bima

Waalaikumussalam wr.wb.

Seyogyanya antara naik haji dan menyantuni orang miskin tidak perlu dipertentangkan. Mereka yang sudah mampu untuk berhaji sebaiknya juga melakukan perbuatan baik berupa menyantuni orang miskin. Perbuatan itu tentu sangat menunjang bagi upaya untuk mendapatkan haji yang mabrur.

Salah satu bagian dari kebaikan al birr sebagaimana firman Allah SWT dalam QS al-Baqarah ayat 177 adalah “wa aatal maala ‘alaa hubbihi dzawil qurbaa wal yataamaa wal masaakiina...” (dan ia yang memberikan harta yang dicintainya kepada kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin).

Dengan demikian, menyantuni orang miskin sesungguhnya merupakan salah satu jalan untuk menuju keberhasilan haji. Masalahnya adalah jika terjadi kondisi pilihan dilematis antara keadaan keuangan dengan tuntutan kebutuhan santunan bagi orang miskin, manakah yang lebih utama. Terhadap hal ini dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, perlu dilihat aspek calon jamaah yang bersangkutan, apakah keberangkatan haji sekarang ini adalah untuk yang pertama kali (wajib) atau yang kesekian kali (sunah). Jika ini yang pertama kali maka hajinya tersebut merupakan beban kewajiban yang mesti ditunaikan terlebih dahulu.

Apabila ini ibadah haji yang sunah maka jika alokasi dana yang diarahkan kepada orang miskin  tersebut akan memberi makna yang signifikan baginya, tentulah menyantuni orang miskin itu lebih utama. Asas muwazanah (prioritas) adalah mendahulukan yang wajib daripada yang sunah.

 

Kedua, perlu kejelasan status dari orang miskin yang kini tampaknya semakin sulit untuk dipetakan. Memang, di pinggir jalan pun berkeliaran orang-orang yang meminta-minta. Akan tetapi, banyak pengamat sosial melihat bahwa keberadaan “orang miskin” tersebut terorganisasi, sehingga sadar atau tidak status kemiskinannya itu hanya alat saja untuk mendapatkan uang.

Dengan kata lain, pilihan untuk menyantuni orang miskin itu mesti benar-benar tercermati. Jangan-jangan, ada “orang miskin profesional”.

Persoalan menjadi lain jika kemiskinan itu berada dalam bingkai sistem di mana pengorbanan “tidak jadi haji” tersebut akan bermanfaat bagi pembangunan sistem yang benar-benar menolong keadaan orang-orang miskin. Hal seperti ini menjadi amal utama yang bermutu tinggi.

Baik naik haji maupun menyantuni orang miskin, dua duanya adalah wajib, lalu kewajiban mana yang akan kita dahulukan? Jawabannya sebagaimana kaidah hukum ushul fiqih bahwa suatu hukum bisa bergeser bergantung ilatnya, faktor kondisi objektifnya. “Al-hukmu yadurru ma’a ilatihi wujudan wa adaman” (hukum tergantung ilat, ada dan tiadanya). Nah, wajibnya naik haji bisa digeserkan oleh keadaan atau ilat orang miskin yang sedemikian mendesaknya kebutuhan diri dan keluarganya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement