Diasuh oleh: Ustaz HM Rizal Fadillah
Assalamualaikum wr wb.
Ustaz, bagaimana kedudukan doa dalam ibadah haji. Apakah kita harus hafal doa-doa yang biasa ada dalam buku-buku doa manasik haji?
Abdul Jalil
Kuningan, Jawa Barat
Waalaikumussalam wr wb.
Doa-doa itu jika kita hafal, tentu baik saja, apalagi doa yang bersumber dari Alquran dan as-sunah. Akan tetapi, jika kita tak hafal, kita bisa membaca dari buku panduan yang dimaksud.
Jika sulit pula sambil membaca doa dari buku sambil tawaf atau sa'i, misalnya, tidak mengapa kita membaca doa-doa yang kita pilih dan hafal. Inti sebenarnya adalah kita mengerti apa yang dibaca, dihayati, dan doa itu menyatu dengan getar hati.
Berdoa dengan bahasa dan formulasi sendiri juga tidak mengapa, kecuali ada doa-doa baku yang dicontohkan Nabi SAW, seperti antara Rukun Yamani hingga Hajar Aswad, doa di Bukit Shafa dan Bukit Marwah, serta doa setelah melempar jumrah.
Agar doa-doa dikabul oleh Allah, disyaratkan kita mengenal asma dan sifat Allah karena dengan mengenal-Nya, kita akan tahu pintu-pintu masuk ke ruang keridhaan-Nya. Dengan mengenal Allah pula, kita akan lebih mencintai dan dicintai oleh Allah SWT.
Prasangka baik bahwa Allah mendengar dan menjawab permohonan yang kita ajukan, mutlak diperlukan karena Allah “mengikuti” prasangka hamba-hamba-Nya sebagaimana Hadis Qudsi yang sangat indah ini: “Aku sesuai prasangka hamba-Ku. Aku bersamanya bila ia berzikir dan berdoa kepada-Ku.”
“Bila ia menyebut nama-Ku dalam hatinya, maka aku menyebut namanya dalam diri-Ku. Bila ia menyebut dan menyeru nama-Ku dalam kumpulan orang banyak, maka Aku menyebut namanya dalam kumpulan orang yang lebih banyak lagi.”
“Bila ia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta. Bila ia mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku mendekat kepadanya sedepa. Bila ia datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku mendatanginya dengan berlari.” (HR Bukhari-Muslim).
Mengingat doa-doa dalam ibadah haji dipanjatkan dalam segala situasi dan model, maka doa dan zikir itu tidak semata-mata dalam keadaan duduk bersila mengangkat tangan saja, misalnya.
Memang ada kalanya berdoa dan berzikir dengan duduk (wukuf di Arafah), berdiri (di depan Multazam), berjalan (tawaf), berlari (sa’i), ataupun berbaring (di Mudzdalifah), dan melempar (jumrah). Pendeknya, dalam segala situasi dan kondisi. Alangkah indahnya hidup jika setiap saat kita bisa berdoa dan berzikir mengaitkan hati pada kasih sayang Ilahi.
Meskipun syarat doa agar dikabul oleh Allah SWT haruslah dengan kerendahan dan kehinaan di hadapan Allah SWT, hal ini bukan berarti kita adalah orang yang hina dan rendah, justru Allah SWT memuliakan dan meninggikan orang-orang yang berdoa.
Allah akan memberikan kekuatan agar teguh dan tangguh menghadapi tantangan dan perjuangan hidup. Doa adalah senjata “Addu’aa-u silaahul mu’min wa ‘imaaduddien wa nuurus samaawaati wal ardli” (Doa itu senjata orang yang beriman, tiangnya agama, dan cahaya langit dan bumi). HR Hakim dan Abu Ya’la.
Doa utama yang dimintakan adalah doa memohon ampun. Allah akan mengabulkan doa permohonan ampun orang yang berhaji, sebagaimana Hadis Qudsi Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah: “Pada hari Arafah Allah SWT turun ke langit bumi. Dia membanggakan orang-orang yang menunaikan ibadah haji kepada para Malaikat-Nya. Ia berfirman, ‘Lihat hamba-hamba-Ku itu!”
“Mereka datang dari berbagai penjuru dan pedalaman dalam keadaan kusut, berdebu, dan berterikan matahari. Mereka mengharapkan rahmat-Ku. Saksikanlah oleh kalian bahwa Aku memaafkan mereka’. Para Malaikat berkata, ‘Wahai Tuhan kami, si fulan pernah melakukan kedurhakaan, begitu juga si fulan dan si fulan’. Allah berfirman, “Tetap saja Aku memaafkan mereka!”