REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Zaky Al Hamzah
Banyak kerugian yang dialami jamaah haji non-kuota di Tanah Suci. Menurut Cecep Nursyamsi, kerugian pertama, tidak ada yang menjamin dalam hal akomodasi. Selama musim haji, pemondokan-pemondokan di Makkah sudah penuh karena disewa selama semusim.
Akibatnya, jamaah haji non-kuota biasanya telantar di pinggir jalan atau tengah kota. Saat di Armina, tidak ada yang menjamin konsumsi untuk mereka meski tinggal di maktab khusus. "Biasanya mereka akan datang ke maktab-maktab haji reguler untuk cari makanan," tutur Cecep.
Kedua, tidak ada yang melindungi karena tidak punya petugas atau pembimbing, seperti dirasakan jamaah haji reguler yang dilayani petugas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) di Jeddah, Makkah dan Madinah.
Kerugian ketiga, ketika jamaah non-kuota meninggal di Arab Saudi, tidak memiliki asurani. Kerugian keempat, bila jamaah haji non-kota meninggal dunia di Tanah Suci, dia sulit dikuburkan di Tanah Suci, karena tidak ada pihak yang bisa bertanggung jawab.
Biasanya, kasus ini menjadi penanganan Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Jeddah. "Jamaah haji kuota bila wafat di Tanah Suci, kan yang bertanggung jawab pemerintah," kata Cecep. Menurut dia, setiap tahun selalu ada jamaah haji non-kuota yang wafat di Arab Saudi.
Ia mengungkapkan, jika ada jamaah haji non-kuota yang menggunakan visa haji, biasanya mendarat di terminal haji Bandara Jeddah dan Bandara Madinah, secara bergerombol.
Jika menggunakan visa ini, mereka tetap harus membayar general service (pelayanan umum haji selama di Arab Saudi) sebesar 277 dolar AS per satu jamaah. General service ini untuk fasilitas naqobah (transportasi) dan biaya maktab selama jamaah haji mabit (bermalam) di Padang Arafah.