REPUBLIKA.CO.ID, Hanya, tiga hari kemudian, ia kembali dipanggil dan diberi tahu bahwa ia akan tetap berangkat. Bukan dengan status TPHD, melainkan dengan status jamaah haji biasa.
Pejabat setempat membiayai keberangkatannya dengan jalur haji khusus. “Saya jadi berangkat tanpa beban tugas apa pun, kecuali murni sebagai jamaah haji,” kata Kang Samuh.
Sejak itulah dosen sekaligus guru besar Ilmu Komunikasi UIN Sunan Gunung Djati itu bersyukur dapat kesempatan berangkat ibadah haji berkali-kali. Semuanya ia jalani dalam status sebagai pemandu jamaah haji rombongan Prof Miftah Faridl.
Rangkaian kejadian itu membuatnya menarik suatu kesimpulan. Di tengah upaya manusia untuk berangkat haji, ada “undangan” dari Allah yang menentukan kita jadi berangkat atau tidak.
Menurutnya, jika Allah sudah “mengundang” seseorang untuk berangkat haji, apa pun alasannya, apa pun keadaannya, manusia tetap berangkat.
Berapa banyak orang yang masuk dalam daftar antrean dengan segala fasilitasnya yang telah lengkap, tapi belum juga berangkat. Sebaliknya, berapa banyak orang yang menurut kalkulasi matematis belum “mampu” berangkat, dengan cara apa pun ia tetap berangkat.
Ibadah haji baginya merupakan bentuk penghambaan paling tinggi kepada Allah. Secara lahiriah, haji sering disebut-sebut sebagai ibadah yang mensyaratkan kemampuan harta atau ibadah maliyah dan sekaligus mensyaratkan kekuatan fisik.
Tidak salah karena faktanya ibadah haji membutuhkan paling tidak dua faktor tersebut. Hanya, ungkapnya, ibadah haji memiliki dimensi kepatuhan dan ketulusan yang sangat besar. Tanpa itu semua, perjalanan haji akan sia-sia.