Rabu 19 Aug 2015 17:13 WIB

Pemerintah Kolonial Halangi Umat Islam Laksanakan Haji

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Memasuki era kolonial, pelaksanaan haji di nusantara mengalami banyak perubahan. Bagi pemerintah kolonial, haji merupakan ritual yang mempengaruhi perkembangan Islam di nusantara.

Dikutip dari Haji dari Masa ke Masa terbitan Kementerian Agama, ada upaya dari pemerintah kolonial seperti Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda mewujudkan rencana itu dengan bekerjasama dengan kerajaan pribumi yang beragama Hindu atau Buddha.

Inggris misalnya, sewaktu menguasai nusantara pada rentang 1811-1816, melihat ritual haji sebagai biang keladi kerusuhan sosial di nusantara. Thomas Stanford Raffles yang menjadi gubernur jenderal menilai haji merupakan Muslim dengan pengaruh politik yang luas.

Karena itu, Raffles sejak tahun 1811 memperingatkan para bawahannya tentang bahaya para haji. Ia pun mengeluarkan kebijakan yang melarang dua anak dari bupati yang diketahui berhaji menggantikan ayahnya.

Memasuki era VOC, perusahaan Belanda ini melihat haji merupakan ruang masuknya aliran Islam yang keras terhadap penjajah. Di Sumatera Barat misalnya, Belanda yang menggandeng kaum Adat memerangi kaum Paderi yang sebagian besar merupakan haji.

Setelah VOC dibubarkan, Kerajaan Belanda yang langsung mengurusi wilayah Nusantara punya cara untuk menekan jumlah haji. Pada tahun 1825, Belanda memberlakukan paspor haji bertarif 110 gulden atau 50 dolar AS. Biaya ini jelas mahal, karena nilainya setara dengan perjalanan Padang-Jeddah.

Bagi mereka yang tidak membayar paspor ini, maka dikenakan denda 1.000 gulden. Karena denda ini, sebagian calon haji memilih berangkat haji dari Singapura dan Malaysia. Di kedua wilayah jajahan Inggris tersebut, para calon haji dapat berangkat haji dengan harga yang logis.

Sementara itu, di Makkah, peran Syekh selepas jatuhnya kekalifahan terakhir menjadi lebih besar. Para syekh ini yang kemudian menjadi penyedia jasa kapal bagi jamaah haji. Tercatat Syeh Umar Bugis pernah menjadi penyedia kapal haji untuk wilayah Nusantara.

Yang menarik saat itu, para syekh ini menawarkan jasa pembayaran kapal dengan cicilan yang dibayarkan melalui upah kerja di salah satu perkebunan di Cocob, Trengganu, Malaysia. Jasa inilah yang dimanfaatkan para jamaag haji asal Nusantara yang enggan membayar paspor 110 gulden.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement