REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akhirnya, Tutty bersama rombongan tiba di Jeddah. “Pelabuhan itu (Jeddah-red) sangat besar,” kata dia.
Saat kapal yang ditumpanginya menepi, ia bersama rombongan bersiap-siap menurunkan barang bawaan. Dahulu, sebelum mengenal koper, calon jamaah haji zaman dahulu mengenal sahara. “Sahara ini, bisa menampung banyak bawaan. Karena saat itu banyak sekali yang dibawa jamaah,”kenangnya.
Menginjakan kaki di Pelabuhan Jeddah, suara dari pengeras suara menggiring Tutty dan rombongan menuju bus. Di bus tersebut, ia bersama keluarga duduk paling belakang. “Suasana begitu ramai, kita dijemput Syekh yang mengurusi jamaah haji. Alhamdulillah, saya senang sekali sampai Jeddah,” kata dia.
Di perjalanan, ada kabar mengejutkan menghampiri Tutty. Ada satu anggota keluarganya, Haji Habsah, hilang entah kemana. Mencoba untuk tidak panik, ia cek setiap bus. Satu jam mencari, akhirnya Haji Habsah ditemukan. “Kita lanjutkan perjalanan ke Madinah,” ucapnya.
Sepanjang perjalanan ke Madinah, Tutty beberapa kali menyempatkan diri ziarah. Salah satunya ke sebuah kampung bernama Badar. Menurutnya, kampung ini memiliki sejarah panjang. Utamanya terkait turunnya ayat yang bertepatan dengan hari kedua Ramadhan.
“Saya ceritakan kepada jamaah, kampung ini tempat dimana Rasulullah dan sahabat diserang 1.000 kafir Quraisy. Umat Islam yang kala itu hanya berjumlah 300 orang begitu militan. Rasulullah dengan strategi perangnya yang luar biasa, mengubah para orang tua dengan rambut yang memutih dicat agar terlihat muda,” paparnya.
Dari peperangan itu 70 sahabat jadi syuhada. Makam para syuhada ini sekarang ditandai sebuah tanah yang dibatasi tembok. “Saya bahagia bisa mendapatkan kesempatan berziarah ke kampung Badar,” kata dia. Di perjalanan ke Madinah itu pula, ia bersama rombongan menyempatkan diri berziarah ke makam ayah Rasulullah, Abdullah.
Setibanya di Madinah, Tutty bersama rombongan disambut hujan begitu deras. Situasi tersebut tidak menyurutkan niatnya untuk segera berziarah ke Makam Rasulullah. Kemudian, ia lanjutkan beribadah di Raudah. “Di sana saya berdoa agar diizinkan jadi pejuang Allah,” kata dia.
Menurut Tutty, di Madinah dahulunya banyak pasar. Memang Masjid Nabawi saat itu belum besar seperti sekarang. Selama di Madinah, ia menyempatkan diri mengunjungi Masjid Bilal, Masjid Quba, Masjid Qiblatain, dan Masjid Al-Ghamamah.
“Berangkat dari Madinah menuju Makkah perjalanan agak berat. Saya dengar di Makkah masih banjir, bahkan ada jamaah yang tawaf pakai perahu,” kata dia. Menurut Tutty, posisi Makkah yang berada di dasar cekungan itu membuat Tanah Suci rentan banjir. Meski begitu, niatan Tutty untuk segera ke Makkah tidaklah surut.
Setibanya di kota Makkah, ia langsung menuju Kabah. Di depan Kabah ia berdoa. Ia sebut sejumlah nama agar diberikan kemudahaan berhaji. Kemudian ia cium hajar aswad berkali-kali, shalat di Hijr Ismail. Setelahnya ia nikmati air zam-zam. “Dahulu air zam-zam itu beli. Satu riyal untuk satu tempat air gitu,” kenangnya.
Melanjutkan rukun haji,Tutty pergi ke Arafah. Ia nikmati betul perjalanan itu. Ia lontar jumrah di Jumratul Aqbah, Ustah, dan Urah.”Sebelum seperti sekarang, tempat jumrah itu kecil. Jadi kita berebut. Banyak yang jatuh pingsan. Sekarang mungkin lebih mudah ketimbang masa lalu,” kata dia.
Di akhir perjalanan haji, Tutty melaksanakan tawaf wada (perpisahan). Ia sempatkan pula membeli oleh-oleh untuk keluarga di Tanah Air. Seingatnya dulu, ia tidak mengeluarkan uang untuk membeli oleh-oleh. Ia barter sejumlah sarung dengan kurma dan lainnya.
“Ternyata banyak yang suka sarung. Alhamdulillah, jadi kita tukar sarung dengan apa yang kita butuhkan,” ucap dia.