Selasa 26 Jul 2016 16:03 WIB

Kemunculan Jamaah Haji Nusantara

Rep: Amri Amrullah/ Red: Agung Sasongko
Jamaah haji tempo dulu menggunakan angkutan kapal laut (ilustrasi).
Foto: wordpress.com
Jamaah haji tempo dulu menggunakan angkutan kapal laut (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia memiliki akar sejarah panjang. Sebelum sampai pada model pengelolaan dan pemberangkatan haji yang lebih modern seperti saat ini, catatan sejarah mengungkapkan muslim di wilayah Nusantara telah lama melakukan kunjungan ke tanah suci baik dalam bentuk ziarah, berhaji atau untuk menuntut ilmu.

Jauh sebelum masa sebelum kolonial, sekitar 30 Hijriah atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun Rasulullah SAW wafat, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Di sela-sela perjalanan selama empat tahun ini, delegasi itu menyempatkan singgah di kepulauan Nusantara.

Beberapa tahun kemudian kemudian, tepatnya pada 674 Masehi, masa dimana berdiri Dinasti Umayyah di Arab, Dinasti T'ang di Cina dan Sriwijaya di Nusantara. Melalui jaringan diplomatik diantaranya inilah pertama kali penduduk nusantara berkenalan dengan Islam.

Berkenaan dengan masuknya Islam ke Nusantara, belum ada kesepakatan yang bulat di kalangan para ahli. Teori yang umum pertama adalah teori Arab, menyatakan Islam di nusantara langsung dari Arab tepatnya dari Hadramaut. Teori lain mengatakan Islam datang ke Nusantara dari Gujarat, India.

"Berdasarkan terjemahan Prancis tentang catatan perjalanan Suleiman, Marco Polo dan Ibn Battuta, ia menyimpulkan bahwa orang orang Arab yang bermazhab Syafi'i dari Gujarat dan Malabar di India yang membawa Islam ke Asia Tenggara," tulis cendikiawan muslim Azyumardi Azra.

Sedangkan pandangan lain mengatakan Islam di Nusantara dibawa dari Benggali, kini Bangladesh. Ini terlihat dari kehadiran keturunan Benggali di Pasai, yang muncul pertama kali di di pantai timur Semenanjung Malaya. Namun dari berbagai teori yang ada tersebut, membuktikan bahwa masyarakat nusantara telah mengenal interaksi antar budaya.

Bahkan beberapa daerah sudah mengarungi lautan lepas hingga berlayar ke Malabar di India hingga Madagaskar. Interaksi perdagangan ini juga mengundang para pelaut dan pedagang muslim ke Nusantara, baik dari Arab, India bahkan juga Cina.

"Kehadiran Muslim Timur Tengah,-kebanyakan Arab dan Persia di Nusantara pada masa awal ini pertama kali dilaporkan oleh agamawan dan pengembara terkenal Cina, I-Tsing pada 671. Ia menumpang kapal Arab dan Persia dari Kanton ke pelabuhan muara sungai Bhoga atau Sribhoga, Sribuza, sekarang dikenal sungai Musi. Sribuza sebagaimana diketahui telah diidentifikasi banyak sarjana modern sebagai Palembang, ibukota kerajaan Budha Sriwijaya," tulis Azyumardi Azra.

Dalam perjalanannya proses Islamisasi di Nusantara mulai dari Sumatera terjadi. Di Jawa peran Wali Songo menjadi kunci vital Islamisasi. Di timur Kalimantan Islam menyebar ketika Kutai dengan dua ulama Datuk Ri Bandang dan Tunggang Parangan.

Sedangkan di Sulawesi dengan munculnya masyarakat Muslim pada abad ke 16, Raja-raja Gowa dan Tallo memeluk Islam, dan resmi menjadi agama kerajaan pada 22 September 1605. Di wilayah timur, khususnya Maluku masuknya Islam tidak bisa dipisahkan dari jalur perdagangan  rempah dari Malaka, Jawa dan Ternate.

Dari bandar-bandar niaga hasil bumi, kota-kota di Nusantara berkembang. Seperti kota Barus di Sumatera yang telah dikenal lama sebagai penghasil kapur, dan juga untuk merujuk gugusan pulau di Nusantara.

Di masa-masa perpolitikan Dinasti Islam, juga berpengaruh terhadap berlayarnya penduduk pribumi ke kawasan Timur Tengah. Jalur perdagangan di Laut Merah sampai abad ke 12 Masehi dari dan ke Jeddah msih belu menjadi perhatian para pedagang. Hal ini karena kebijakan Syarif Makkah yang mengikuti keputusan Shalahuddin Al Ayyubi yang membatasi pedagang non-Muslim saat itu, karena konfrontasi Perang Salib.

Kebijakan ini untuk membatasi penyusup memasuki Tanah Suci, dan menyerang Makkah dan Madinah melalui pelabuhan Jeddah. Namun kebijakan itu berubah ketika Dinasti Mamluk memerintah pada 1250 hingga 1517 Masehi. Pedagang non-Muslim diperkenankan bersandar di Jeddah dan membuat kota ini ramai dengan pendatang dari berbagai kawasan, termasuk pedagang nusantara.

Hal ini memberikan kemudahan bagi para pedagang Muslim yang juga ingin belajar Islam dan melakukan ibadah haji saat itu. Mengenai jumlah jemaah haji yang melakukan perjalanan melalui India, berdasarkan informasi yang didapat dari Ludivico di Varthema (Lewis Berthema), ketika berada di Makkah pada 1504 Masehi.

Ia melakukan pengamatan, menyebut banyaknya jamaah haji yang datang dari greater India (anak benua India) dan lesser India (India minor, kepulauan Nusantara). Menurut Azyumardi Azra, laporan Varthema merupakan informasi paling awal berkenaan dengan kehadiran jamaah haji dari Nusantara. Karena sulit menyimpulkan kehadiran jemaah haji yang datang sebelum muncul dokumentasi Varthema.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement