Senin 15 Aug 2016 04:51 WIB

Gambar Gajah dan Haji Berzikir di 'Prigi Ajaib' Laweyan Tahun 1914

Sultan Mataram tengah menggelar acara rampokan (adu macan melawan manusia).
Foto:
Produksi batik di Kampung Batik Laweyan, Solo.

Gambar hidup yang ada di dalam sumur mengisyaratan bahwa itu adalah sosok orang-orang dari kampug Kauman dan Laweyan. Pada waktu itu memang ada seorang haji, yakn Haji Bakrie, yang semula membentuk Boedi Oetomo Surakarta mendirikan percetakan dan penerbitan, kemudian berpindah organiasi dengan membantu pergerakan Sarekat Islam (SI).

Demikian juga ada Haji Zaini dari Kauman yang aktif di SI. 

Namun di samping sosok dua orang haji tersebut, bagi orang Laweyan tentu saja Haji Samanhudi (seorang haji yang kaya raya, red)  dan juga ketua Sarekat Islam, adalah sosok haji yang paling mereka kenal.

Patut diketahui pula, peran Haji Samanhudi sejak taun 1909 memang sudah kondang sebagai pelopor dari para saudagar yang mengusahakan bahan kayu untuk melawan kenaikan harga bahan bakar yang semula di tangan orang Cina. Maka, nasib orang-orang Laweyan secara keseluruhan terletak dalam kelancaran usaha perbatikan, sangat peduli pada Samanhudi sehingga seruannya untuk memboikot monooli perdagangan bahan baku batik selalu mendapat sambutan luas.

Maka hadirnya situasi ini jelas secara mudah dapat diramalkan bahwa bila Serikat Islam dibentuk, maka organisasi perjuangan ini akan segera mendapat sambutan secara antusias dari para pedagang batik. Maka tak aneh bila para penghuni kampung Laweyan, termasuk para haji yang menjadi juragan batin, pun menyambut pendirian SI dengan penuh rasa semangat.

Namun, di sisi yang lain, meski makmur dan hidup berkecukupan, status para haji yang pedagang ini masih dianggap orang kecil, sama seperti gambaran perempuan tua yang melihatnya sedang berzikir di dalam sumur di Kampung Laweyan tersebut. Jadi betapapun besar kekayaan yang mereka miliki dan luasnya pengaruh haji yang pedagang terhadap masyarakat, tetap saja tidak mengubah status sosial mereka, yakni tetap saja bukan kelompok bangsawan.

Alhasil, para haji di Laweyan terus saja merasa dan diperlakukan sebagai wong cilik dalam hierarki resmi di kota Surakarta pada saat itu, bukan ‘naik kelas’  atau beralih menjadi golongan priyayi. Dengan begitu gengsi status mereka pun tak berubah, tetap saja sebagai kawula yang tidak diperkenankan memakai adat priyayi (bangwasan kraton).




Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement